TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo mengatakan perdagangan ilegal akan mematikan produsen dalam negeri karena tidak bisa bersaing. Selain merusak, barang-barang ilegal melemahkan industri dalam negeri. "Kalau ini tidak segera dihilangkan, kita habisi," ucapnya sebelum memimpin rapat terbatas terkait dengan perdagangan dan impor ilegal di Kantor Presiden, Senin, 12 Oktober 2015.
Barang-barang ilegal juga membuat orang malas berproduksi, mengganggu pasar dalam negeri dan keuangan negara, serta melemahkan daya saing. Untuk itu, dalam rapat tersebut, Jokowi ingin langkah konkret untuk mengatasi perdagangan dan impor ilegal.
Menurut Presiden, bila masalah perdagangan ilegal dapat diatasi dengan baik, neraca perdagangan dapat diperbaiki. Jokowi menjelaskan, produk-produk impor ilegal itu antara lain pakaian jadi, kosmetik, elektronik, dan produk pangan, seperti beras. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini ingin permasalahan tersebut benar-benar menjadi perhatian pemerintah.
Presiden mengaku telah mendengar banyak modus, seperti penyelundupan bea masuk, pajak penghasilan, dan pajak pertambahan nilai, yang terjadi di pelabuhan. Menurut dia, dalam hal ini, ada tiga pihak yang bekerja sama: importir, pengusaha pengurusan jasa yang berkaitan dengan kepabeanan, dan oknum, terutama dari Bea-Cukai.
Pembeli barang, yang biasanya dengan arahan dari Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan, meminta eksportir negara asal membuat ekspor dokumen, baik invoice packing list maupun bill of lading (BL), yang diatur dengan nama barang dalam harmonized system pada barang tertentu yang bea masuknya nol. "Padahal produsen di sini kalau impor bahan baku terkena PPN, PPH, bea masuk. Ini yang membuat daya saing kita kalah," tutur Presiden.
Oknum, ujar Jokowi, biasanya meminta harga borongan per kontainer. "Saya sudah mendapatkan datanya bahwa harga itu bervariasi, bergantung pada barang yang diimpor."
Harga produk benang bisa mencapai Rp 120 juta per kontainer, produk kain Rp 150 juta per kontainer, pakaian jadi Rp 200 juta per kontainer, dan barang elektronik lebih mahal harganya daripada barang-barang yang disebutkan sebelumnya. "Ini harus disikapi serius, terutama yang berkaitan instansi-instansi yang berkaitan dengan barang masuk," katanya.
ALI HIDAYAT