Ekspor Madu, Indonesia Kalah Bersaing dengan Malaysia
Editor
Muhammad Iqbal
Jumat, 2 Oktober 2015 19:09 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Ketua Perkumpulan Perlebahan Jawa Tengah, Henki Febrianto mengatakan pasar madu dunia menjanjikan potensi ekspor non-migas yang menggiurkan. "Di Eropa, 45 gram madu murni kualitas nomer satu, bisa berharga Rp 800 ribu," kata Henki seusai Kongres Pertama Masyarakat Perlebahan Indonesia (MPI) di Graha Sabha Pramana, UGM pada Jumat, 2 Oktober 2015.
Padahal, sejumlah negara di Asia Tenggara saat ini sudah mampu merebut potensi pasar madu itu. Peternak lebah asal Semarang ini mencatat Malaysia dan Vietnam kini menjadi penyuplai madu di sebagian negara Eropa.
Sebaliknya, pasar di Indonesia, malah didominasi madu impor berkualitas rendah. Dia mencontohkan madu impor asal Thailand, yang membanjiri pasar Indonesia, diproduksi dari pembiakan lebah dengan suplai makanan dari pohon kelengkeng yang berbunga dengan bantuan pupuk kimia berdosis besar.
“Pupuk kimia menyebabkan madu mengandung potasium. Konsumen tak paham dan pemerintah tidak punya standard kualitas madu impor seperti di Eropa," kata Henki.
Henki memperkirakan peternak lebah di Jawa Tengah masih ada sekitar 600-an peternak aktif. Jumlah peternak di daerah Jawa Timur dan Jawa Barat malah jauh lebih banyak. “Perlu ada master plan, madu harus dianggap komoditas ekspor strategis," kata dia.
Persoalan utama bagi para peternak lebah, menurut Henki, ialah minimnya penguasaan teknik pembiakan dan teknologi produksi madu berkualitas. Akibatnya, mutu dan jumlah produksi madu nasional terus menurun.
Hambatan lain, menurut Henki, vegetasi pemilik bunga untuk makanan lebah, semakin langka. Sementara di hutan, tanaman yang memenuhi kebutuhan lebah jarang tumbuh. Pohon karet, misalnya, menyediakan makanan bagi lebah, tapi menyebabkan hewan ini mati tanpa bisa berbiak. Situasi ini mempersulit peternak dalam mencari lahan pembiakan.
Pohon primadona untuk pembiakan lebah sebenarnya Kapuk Randu. Bunga pohon ini, kata Henki, kaya makanan pembantu lebah agar bisa memproduksi madu berkualitas sekaligus berkembang biak dengan baik. "Tapi, Kapuk Randu makin langka, banyak ditebang diganti pohon lain karena harga hasil produksi kayu dan kapuknya murah," kata Henki.
Henki mengusulkan kondisi tersebut diatasi dengan pembiakan massal Kapuk Randu Merah. Selain menyediakan makanan favorit lebah madu, pohon ini menghasilkan kapuk berharga mahal karena berguna untuk bahan benang di industri tekstil. Sayangnya, bibit tanaman ini ada di Cina dan pembiakannya secara massal di Indonesia perlu sokongan pemerintah.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM