Rizal Ramli, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman. TEMPO/Aditia Noviansyah
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Koordinator Kemaritiman akan memangkas 124 perizinan dari 20 kementerian dan lembaga yang diperlukan untuk dwelling time saat ini.
Rizal Ramli, Menteri Koordinator Kemaritiman, mengatakan perizinan dalam dwelliing time di pelabuhan saat ini terlalu rumit. Padahal perizinan tersebut bisa dipangkas untuk mempercepat waktu dwelling time menjadi sekitar empat hari, sesuai dengan yang diinginkan Presiden Joko Widodo.
"Dulu, ada paradigma di birokrat kita, kalau dapat dibuat sulit, kenapa harus dipermudah, karena berharap mendapat suap. Saat ini akan kami ubah paradigma itu menjadi, kalau memang sulit, akan kami permudah," katanya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 1 September 2015.
Rizal menuturkan, pemerintah akan memangkas perizinan tersebut hingga menyisakan 42 izin atau sepertiga dari perizinan yang diperlukan sebelumnya. Dengan begitu, pelaku usaha dapat memangkas waktu dan biaya untuk proses dwelling time.
Menurut Rizal, banyaknya perizinan yang harus diselesaikan pengusaha untuk dwelling time itu disebabkan oleh aturan yang tumpang-tindih yang dibuat pejabat lama dan baru. Selain itu, ada perizinan yang sengaja dikeluarkan untuk membuat proses tersebut lebih rumit dan lama karena berharap mendapatkan suap.
"Banyaknya perizinan ada dua penyebabnya, karena menteri baru mengeluarkan kebijakan perizinan tanpa mencabut kebijakan perizinan yang lama dan kebijakan perizinan yang sengaja dibuat untuk membuat proses itu sulit agar mendapat setoran banyak," ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Staf Presiden Luhut Binsar Panjaitan mengatakan Presiden Jokowi terus memantau dan menginvestigasi proses dwelling time. Hal itu dilakukan untuk memastikan instruksinya dijalankan oleh seluruh jajarannya.
Bahkan, kata Luhut, Presiden membentuk gugus tugas khusus untuk menyelesaikan persoalan dwelling time guna mereformasi manajemen di pelabuhan.
Menurut dia, persoalan dwelling time ini telah membuat Indonesia mengalami potential lost hingga Rp 744 triliun.