Dirut PT. Pelindo II RJ. Lino berjalan usai memberi keterangan tentang identitas korporasi baru PT. Pelindo II di Jakarta, Rabu (22/2). ANTARA/Rosa Panggabean
TEMPO.CO, Jakarta - J.R. Lino, Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Persero) II, berkukuh untuk memperpanjang kontrak Hutchsion yang sebenarnya baru berakhir pada 2019. Sikap keras orang nomor satu di Pelindo II itu memicu perlawanan, khususnya Serikat Pekerja PT Jakarta International Container Terminal (JICT).
Serikat Pekerja JICT menyatakan kerja sama dengan perusahaan asing itu tak diperlukan lagi dan lebih baik dikelola sendiri oleh perusahaan nasional. Serikat pekerja juga menilai perpanjangan kontrak yang terlalu rendah. Mereka membandingkannya dengan saat JICT diprivatisasi pada 1999. Ketika itu Hutchison melalui Grosbeak Pte Ltd menggelontorkan US$ 215 juta demi 51 persen saham JICT dengan harga per lembar saham dipatok Rp 500.
Dalam amendemen kontrak yang baru, Pelindo mendapat pembayaran di muka alias upfront fee US$ 215 juta dari Hutchison untuk 49 persen saham JICT. ”Padahal kapasitas peti kemasnya berkembang pesat,” ujar Ketua Serikat Pekerja JICT Nova Sofyan Hakim.
Rendahnya nilai JICT ini juga disampaikan Financial Research Institute (FRI), konsultan independen yang ditunjuk Dewan Komisaris Pelindo II enam bulan setelah Lino meneken amendemen perpanjangan kontrak dengan Hutchison. Dewan Komisaris saat itu dipimpin Luky Eko Wuryanto, kini Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Perekonomian. Mereka menugasi FRI memeriksa proses valuasi PT JICT yang digarap Deutsche Bank.
Dari Deutsche Bank, FRI mendapat konfirmasi bahwa asumsi biaya sewa JICT seharusnya US$ 106,7 juta per tahun dan bukan US$ 85 juta, seperti tertulis dalam amendemen kontrak 5 Agustus 2014. Bank itu juga merevisi valuasi nilai wajar saham PT JICT dari semula US$ 639 juta menjadi US$ 833 juta.
FRI kemudian memverifikasi lagi nilai itu dan mendapatkan angka wajar saham JICT sebesar US$ 854,3 juta. Dengan tawaran upfront fee sebesar US$ 215 juta dari Hutchison, seharusnya kepemilikan sahamnya hanya 25,2 persen, bukan 49 persen.