Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, bersama Kepala Badan SAR Nasional F.H.B. Soelistyo, dalam Rapat Kerja bersama Komisi V DPR RI di ruang rapat Komisi V Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 20 Januari 2015. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengatakan Air Asia dengan nomor penerbangan QZ8501 naik dengan kecepatan yang tidak normal saat mendaki dari 32.000 kaki ke 37.900 kaki sebelum jatuh. Kenaikan sebesar 5.900 kaki itu ditempuh dalam waktu 45 detik dan terdeteksi oleh radar air traffic controller (ATC).
Jonan menyampaikan keanehan itu dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi Perhubungan Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa, 20 Januari 2015. Menurut Jonan sebuah pesawat tempur membutuhkan waktu semenit untuk naik 6.000 kaki. "Itu sangat jarang. Kecepatan rata-rata pesawat komersial untuk naik 1.000-2.000 kaki membutuhkan waktu semenit," kata Jonan. (Baca: QZ8501: Naik Cepat, Jatuh, dan Ucapan Allahu Akbar.)
Jonan menuturkan Air Asia QZ8501 sempat terdeteksi pada ketinggian 37.900 kaki, tapi mendadak turun sebesar 7.900 kaki. Pada ketinggian 24.000 kaki, pesawat nahas itu sudah tidak terdeteksi radar ATC. Jonan mengaku tidak ingat berapa lama pesawat menurun dari 37.900 ke 24.000 kaki. Jonan juga enggan berspekulasi dengan menyebut penurunan drastis sebagai penyebab pesawat jatuh. "Saya tidak tahu," ujarnya.
Kepada Tempo, investigator dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi, Nurcahyo Utomo, mengatakan transkrip rekaman pembicaraan pilot pesawat Air Asia QZ8501 belum selesai. KNKT masih memproses cockpit voice recorder (CVR) dan flight data recorder (FDR) yang ada di dalam kotak hitam atau black box. CVR Air Asia QZ8501 dibawa ke markas KNKT pada 13 Januari 2015, menyusul FDR yang dibawa sehari sebelumnya. (Baca: Tim DVI Korban AirAsia Gunakan Teknik Super Impose.)
Paket CVR dan FDR, menurut investigator lain dari KNKT, Ony Soeryo Wibowo, bisa menjawab apakah pesawat Air Asia QZ8501 masuk ke awan cumulonimbus atau tidak sebelum jatuh di Selat Karimata pada akhir 2014. Alat perekam itu juga bisa menjawab bagaimana respons pesawat jika masuk ke awan tersebut.