Seribu buruh Depok berangkat ke Jakarta untuk berdemo di bundaran HI bersama puluhan ribu buruh Jabotabek, 10 Desember 2014. Para buruh menuntut pembatalan kenaikan harga BBM, Perbaikan Pelayanan BPJS, dan jaminan pensiun. TEMPO/Ilham Tirta
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah harus cermat sebelum menaikkan spesifikasi bahan bakar minyak bersubsidi dari Premium ke Pertamax. Cara ini dinilai belum tentu mampu menutup penyaluran subsidi bahan bakar minyak yang salah sasaran. (Baca : Premium Dihentikan, Menteri Energi Tanya Rini Soemarno)
Pengamat energi dari ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan pemerintah harus mempertimbangkan apakah akan menerapkan dua harga untuk produk RON 92, yaitu harga subsidi dan nonsubsidi. Soalnya, selama ini, bensin RON 92 dikenal sebagai produk nonsubsidi.
"Kalau sampai diterapkan dua harga, ini akan membingungkan. Masyarakat tentu akan memilih yang lebih murah," ujar Komaidi, Senin, 22 Desember 2014. (Baca: Lima Bulan Lagi, Impor Premium Distop)
Risiko lain yang harus diperhatikan juga soal migrasi konsumen BBM nonsubsidi ke BBM bersubsidi jenis baru karena spesifikasinya yang cukup tinggi. "Yang dikhawatirkan ketika RON 92 (Pertamax) disubsidi, mobil mewah jadi ikut mengkonsumsi," tutur Komaidi.
Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi merekomendasikan penggantian BBM bersubsidi dari RON 88 menjadi RON 92. Alasannya, pasokan untuk jenis RON 92 lebih banyak tersedia di pasar daripada RON 88. Dengan pasokan yang lebih banyak, peluang kartel untuk memasok kebutuhan BBM Indonesia akan berkurang dan harga yang didapat bisa lebih kompetitif.