Pekeja mengamati pembuatan baja di Pabrik Krakatau Steel, Cilegon, Banten, 26 November 2014. TEMPO/Tony Hartawan
TEMPO.CO , Jakarta - Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika memukul industri baja, termasuk PT Krakatau Steel (Persero). "Industri baja sangat terpengaruh karena sarat dengan komponen impor, " kata Direktur Utama Steel, Irvan Kamal Hakim, kepada Tempo, Kamis 18 Desember 2014.
Irvan mengatakan proporsi komponen bahan baku dan energi dalam dalam struktur biaya industri baja mencapai 83 persen. Di tengah depresiasi nilai tukar rupiah, biaya energi di Indonesia turut membengkak. (Baca: Baja Otomotif Indonesia Ditantang Masuk Thailand.)
Dalam prosesnya, kata Irvan, industri baja menggunakan energi dalam bentuk natural gas. Di pasaran internasional, harga natural gas sekitar US$ 3,8 per Million Metric British Thermal Unit (MMBTU). Sementara di Indonesia harganya mencapai US$ 9 per MMBTU. (Baca: Krakatau Steel Garap Bisnis Non-Baja.)
Di tengah situasi itu, Krakatau Steel juga menghadapi anjloknya harga baja dunia. Melambatnya pertumbuhan ekonomi Cina, Rusia, dan Jepang memaksa negara-negara produsen baja memasarkan produk mereka dengan harga murah. "Meski depresiasi rupiah menjadi potensi besar untuk eksportir, pasar baja Indonesia sedang jatuh."
Melesunya pasar ekspor baja kini diperburuk dengan menurunnya permintaan dari industri manufaktur domestik. Menurut Irvan, depresiasi rupiah menurunkan permintaan karena daya beli semakin rendah.
Kebutuhan Baja untuk Pembangunan IKN 9,5 Juta Ton, IISIA Sebut Produksi Lokal Masih Cukup
7 November 2023
Kebutuhan Baja untuk Pembangunan IKN 9,5 Juta Ton, IISIA Sebut Produksi Lokal Masih Cukup
Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk atau KRAS, Purwono Widodo, mengatakan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) membutuhkan total 9,5 juta ton baja hingga pembangunan tahap akhir.