Pekerja melintas didepan tumpukan timah saat bongkar muat dikawasan Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO,Jakarta - Setelah mengatur tata niaga batu bara, pemerintah berencana menerapkan pembatasan produksi timah menyusul anjloknya harga logam ini di pasaran. "Kita pernah mencapai harga US$ 25 ribu per ton, kenapa sekarang tidak lagi," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, R. Sukhyar, saat ditemui di kantornya, Selasa, 14 Oktober 2014. (Baca juga: Perdagangan di Bursa Timah BKDI Dinilai Tak Fair)
Menurut Sukhyar, pemerintah ingin meningkatkan harga timah dalam negeri agar mendapat keuntungan yang sesuai. Pasalnya, selama ini pemerintah pusat tidak terlibat mengatur perdagangan timah karena label eksportir terdaftar (ET) dikeluarkan oleh pemerintah provinsi dan gubernur. "Ini sangat janggal. Bisa-bisa sumbernya habis," ujarnya.
Produksi timah indonesia, kata Sukhyar, sangat berperan dalam penentuan harga timah dunia. Alasannya, sebanyak 70-80 persen pasokan timah dunia berasal dari Indonesia. "Kalau produksi sedikit saja kita kurangi, akan menggoyangkan harga pasar," katanya.
Sukhyar mengatakan pemerintah ingin membatasi produksi timah di kisaran 35-40 ribu ton per tahun, dengan cara membatasi pemberian label ET. Saat ini, produksi timah jauh di atas 40 ribu ton. Bahkan, timah yang diekspor mencapai 90 ribu ton per tahun dengan harga US$ 21 ribu per ton. Tingginya produksi dan absennya kewajiban pengolahan timah Indonesia membuat negara lain, seperti Malaysia dan Singapura, diuntungkan. "Sudah waktunya industri kita berbasis timah, jangan batangan terus," kata Sukhyar. (Baca: Dua Kubu Ngotot, Aturan Ekspor Timah Kompromistis)
Inginkan Power Wheeling Tetap Dipertahankan di RUU EBT, Anggota DPR: Ada Jalan Tengah dengan Pemerintah
6 Februari 2023
Inginkan Power Wheeling Tetap Dipertahankan di RUU EBT, Anggota DPR: Ada Jalan Tengah dengan Pemerintah
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno menginginkan skema power wheeling tetap dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Enerbi Baru dan Terbarukan atau RUU EBT.