Genset bertenaga biogas milik warga, di Desa Haur Ngombong, Kecamatan Pamulihan, Sumedang, Jawa Barat, Senin (4/3). Dengan menggunakan biogas yang berasal dari kotoran sapi, warga desa ini bebas pemadaman listrik. TEMPO/Prima Mulia
TEMPO.CO,Jakarta - Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Mamit Setiawan mengatakan semakin mahalnya harga elpiji kemasan 12 kilogram dan 3 kilogram akan meresahkan masyarakat. Dengan naiknya harga elpiji itu, akan semakin banyak masyarakat yang mencari energi alternatif. Pemerintah, kata dia, seharusnya mendorong penggunaan energi alternatif tersebut.
Menurut Mamit, saat ini, energi alternatif yang memiliki nilai ekonomis adalah biogas. "Ini biayanya tidak terlalu mahal, dan ketersediaan bahan baku biogas itu cukup banyak," katanya ketika dihubungi Tempo, Kamis, 14 Agustus 2014. Bahan baku biogas bisa didapat dari pengolahan sampah kota ataupun rumah tangga. Juga buangan peternakan, seperti kotoran sapi. (Baca: Ampas Tebu Jadi Sumber Energi Alternatif)
Pengembangan energi alternatif itu memerlukan dorongan dari pemerintah. "Pemerintah harus membantu mengembangkan energi biogas yang murah ke masyarakat," kata Mamit. (Baca: Industri Kecil Didorong Gunakan Energi Alternatif)
Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) berencana menaikkan harga elpiji kemasan 12 kilogram dari harga sekarang Rp 89-100 ribu per tabung. Kenaikan harga gas ini diprediksi akan membuat masyarakat beralih menggunakan gas tabung bersubsidi kemasan 3 kilogram. Pengguna elpiji 12 kilogram kebanyakan adalah kalangan pengusaha rumah makan atau katering. Adapun gas tabung melon lebih banyak digunakan untuk kebutuhan rumah tangga.