Petugas merapikan daging sapi yang bersertifikat halal di pusat perbelanjaan Carefour, Lebak Bulus, Jakarta (20/2). Tempo/Aditia Noviansyah
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dinilai telah mengabaikan penegakan peraturan ihwal sertifikasi halaldaging unggas. “Pemerintah hanya senang membuat peraturan, namun tidak pernah memikirkan instrumen dan proses memperoleh sertifikasi yang dituntut undang-undang itu,” kata Ketua Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) Ade Zulkarnanendi kantor pusat Majelis Ulama Indonesia, Senin, 12 Mei 2014.
Pernyataan Ade tersebut didasarkan pada temuan Himpuli perihal retail-retail modern di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, dan Makassar yang tidak memiliki sertifikat halal dan sehat veteriner. “Sekitar 60 persen daging unggas yang dijual dan diolah di rumah makan tidak bersertifikat,” ujarnya. Data ini merupakan hasil kajian Himpuli selama tiga tahun di supermarket kelas premium dan menengah di empat wilayah tersebut.
Menurut Ade Zulkarnaen, sebagian besar pengelola retail belum mematuhi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 yang mengatur peternakan dan kesehatan hewan. Sebagian besar pelaku usaha daging unggas lokal terbentur pasal 58 ayat 4 yang mengatur soal sertifikasi. “Padahal ini berlaku untuk peternak, rumah potong hewan, dan penjual,” katanya.
Himpuli, kata Ade, menginginkan pemerintah aktif memberi layanan bagi peternak, rumah potong hewan, dan penjual daging unggas agar mereka makin mudah mengurus sertifikasi tersebut. “Jika sudah bersertifikat, masyarakat dapat mengkonsumsi daging unggas dengan tenang,” katanya.