Petugas bank melakukan penyotiran uang lama dan rusak di dalam lemari kaca, di Gedung Bank Indonesia, Jakarta (27/12). TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo, mengatakan bank sentral masih tetap menerapkan kebijakan moneter ketat untuk stabilisasi ekonomi. Dia mengakui langkah itu akan menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan investasi.
"Bagaimana moneter dan fiskal menjaga ekspektasi inflasi agar tidak terus meningkat dan ekspektasi depresiasi tidak terus melemah? Maka, stabilisasi jadi jawaban dalam jangka pendek dengan mengurangi spending," kata Dody dalam acara "Indonesia Investor Forum" di Jakarta Convention Center, Selasa, 21 Januari 2014.
Menurut dia, dalam kondisi saat ini kegiatan investasi harus dikurangi untuk menjaga stabilisasi dan inflasi. "Kalau inflasi tinggi dan nilai tukar melemah akan mengganggu cost production," katanya.
Dody mengatakan Indonesia bisa saja memaksakan pertumbuhan ekonomi agar bisa mencapai 6 persen. Namun, inflasi dipastikan akan di atas pertumbuhan itu. Terus meningkatnya konsumsi BBM yang tidak diimbangi produksi minyak dan gas dalam negeri juga menyebabkan impor semakin tinggi dan defisit transaksi berjalan melambung. "Devisit dari sisi valas, baik itu impor barang atau jasa. Nilai tukar akan sulit menguat," katanya.
Beberapa langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah dengan menjaga ketahanan energi dan pangan yang sangat berpengaruh pada inflasi dan impor. Jika hal itu bisa dijaga, demand dan valas bisa diseimbangkan. "Sepanjang ada risiko dari inflasi dan nilai tukar, transaksi berjalan akan defisit. Tight policy harus terjadi diiringi oleh kebijakan fiskal," katanya.