Kepala Eksekutif LPS Mirza Adityaswara. Tempo/Tony Hartawan
TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara, menyatakan bahwa rupiah harus distabilkan, tetapi jangan sampai terlampau kuat terhadap dolar Amerika Serikat. "Mata uang memang menggambarkan fundamental ekonomi suatu negara. Namun, jika terlalu kuat, ada indikasi lain yang harus diperhatikan," kata Mirza saat ditemui seusai pengucapan sumpah jabatan di Mahkamah Agung pada Kamis, 3 Oktober 2013.
Mirza resmi dilantik menjadi Deputi Gubernur Senior BI setelah ditetapkan melalui rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu pekerjaan rumah untuk Mirza yang disoroti adalah terkait penstabilan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Mirza menjelaskan, saat nilai tukar rupiah mencapai level 9.200 per dolar, permintaan kredit pun menguat. "Menguatnya kredit menyebabkan tingginya nilai impor," kata Mirza. Dengan demikian, kestabilan perekonomian bukan hanya dilihat dari sisi kurs.
Ia mencontohkan Jepang dengan nilai tukar yen yang dipertahankan tidak terlampau kuat. "Agar memiliki daya saing ekspor yang bagus."
Mengenai kondisi pemerintahan Amerika yang menghadapi penundaan dalam negosiasi anggaran negara, Mirza menilai hal tersebut terjadi karena pemerintah mengajukan penambahan utang. Dari segi rasio utang terhadap pendapatan domestik bruto, Amerika sudah mencapai lebih dari 50 persen. "Jadi, ya, terpaksa begitu," kata dia seraya menyebutkan tak ada dampak signifikan kejadian itu terhadap perekonomian Indonesia.