TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan mengkritik pengaturan pajak komponen yang dinilai membuat industri telepon kesulitan. Dia mencontohkan, PT Industri Telekomunikasi Indonesia kesulitan mengembangkan bisnis tablet dan telepon pintarnya.
“Impor handphone dengan bungkus dan kartonnya tidak kena pajak. Sedangkan kalau bikin handphone di dalam negeri, impor suku cadangnya dikenai pajak. Di sektor permesinan juga begitu,” katanya pada Selasa, 17 September 2013
Dahlan mengakui sudah membicarakan masalah tersebut dengan Menteri Keuangan Chatib Basri. Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan masih mengkaji pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk produk telepon seluler pintar guna menekan angka impor. Namun usul ini belum satu suara di antara lembaga pemerintah. “Kita tunggu pembahasannya,” ujarnya.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan masih keberatan terhadap pemberlakuan PPnBM untuk smartphone. Sebab, pemberlakuan pajak tersebut akan mendorong kenaikan angka penyelundupan produk smartphone ilegal. “Saya mengusulkan kepada menteri lain untuk membahas kebijakan ini lebih dalam,” katanya di Jakarta pekan lalu.
Rencana kenaikan PPnBM untuk ponsel pintar mencuat seusai penerbitan paket kebijakan stabilisasi ekonomi pada Agustus lalu. Ponsel pintar dikategorikan sebagai barang mewah yang tingkat impornya cukup tinggi. Untuk menekan laju impor, pemerintah menaikkan PPnBM pada sejumlah produk yang masuk kategori mewah, seperti otomotif, busana, dan elektronik, termasuk ponsel.
Meski dirancang untuk menekan impor, kebijakan kenaikan tarif PPnBM dinilai tidak menjawab persoalan tingginya impor. Persoalan lain: saat ini disinyalir ada 70 juta ponsel ilegal beredar di Indonesia. Karena itu, Gita mengusulkan opsi lain, yakni melalui pendekatan international mobile equipment identity (IMEI). Nanti IMEI pada ponsel akan dikenai pajak dan nomor identitas unik bakal menjadi instrumen untuk aktivasi nomor kartu pengguna ponsel.
