Komisaris Pertamina Belum Tahu Penolakan DPR Atas Penjualan Tanker
Reporter
Editor
Selasa, 15 Juni 2004 19:07 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta: Komisaris PT. Pertamina (persero) Roes Aria Wijaya tidak bersedia mengomentari penolakan DPR atas penjualan kapal tanker raksasa (Very Large Crude Carrier/vlcc) oleh Pertamina. Ia mengaku belum tahu persis pernyataan penolakan tersebut dan apa pertimbangannya, karena belum menerima surat resmi dari DPR. "Karena belum tahu persis, saya tidak bisa berkomentar," ujarnya ketika dimintai konfirmasinya oleh Tempo News Room, Selasa (15/6). Menurutnya, untuk membicarakan masalah itu harus ada pertemuan terlebih terlebih dahulu antara Pertamina dengan DPR. Dari situ baru bisa dibuat keputusan.Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menilai penjualan VLCC itu merupakan masalah perseroan, sehingga harus diselesaikan ditingkat perseroan itu pula. "Mereka punya Dewan Komisaris, saya bukan komisaris lagi," kata dia.Ia membenarkan, kebijakan pengadaan tanker tersebut dikeluarkan melalui Keputusan Presiden (Keppres). Namun ia tidak bersedia menjawab apakah penjualannya juga harus melalui Keppres. Menurut Purnomo, Pertamina bisa mengajukan perubahan Keppres melalui Kementrian BUMN --bukan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral-- bila mereka menginginkannya. Ia mengatakan, keberadaan tanker tersebut memang penting untuk menjaga keamanan pasokan minyak. Namun penggunaan VLCC lebih ditunjukan untuk jangka menengah karena saat ini masih dalam proses pembuatan. Untuk menjaga keamanan pasokan bisa dilakukan dengan tanker milik sendiri atau sewa. Berkaitan dengan VLCC, yang dipermasalahkan adalah justifikasi pembeliannya, yang menjadi wewenang perseroan.Ditempat terpisah komisi ESDM DPR memutuskan menolak penjualan dua VLCC milik Pertamina yang dipesan di Korea Selatan. Penolakan tersebut dikeluarkan setelah menerima laporan dari Tim DPR yang berkunjung ke Korsel melihat secara langsung kondisi tanker. Wakil Ketua Komisi ESDM DPR, Zainal Arifin mengatakan DPR memiliki berbagai pertimbangan yang menjadi dasar penolakan. Terutama masalah keamanan pasokan minyak yang harus tetap dijaga. Penjualan tanker Pertamina dikuatirkan akan mengganggu keseimbangan pasokan dan permintaan. Selain itu, sesuai dengan peraturan internasional, untuk masa mendatang, yang harus digunakan adalah tanker jenis double hulk .Zainal mengatakan, penolakan DPR tersebut memang tidak bersifat mengikat. DPR tidak memiliki wewenang intervensi ke Pertamina, sehingga keputusan ini sifatnya hanya rekomendasi. Ia menegaskan, tidak ada sanksi atau konsekuensi hukum bila Pertamina tidak menjalankan rekomendasi DPR tersebut.Ia menilai Pertamina tidak etis menjual tanker tersebut. Karena pada saat bersamaan, perusahaan migas negara itu sedang meminta dukungan DPR memperbaiki arus keuangan perusahaan. Pertamina meminta bantuan DPR mendesak pemerintah agar mencairkan ongkos pendistribusian dan pengolahan minyak, serta biaya pemasaran zat alam cair (LMG). DPR menilai, ada kesan Pertamina sengaja mempercepat proses tender. Bahkan disinyalir telah ada perusahaan yang mengaku sebagai pemegang tender.Masyarakat profesional madani juga menilai penjualan tanker itu penuh dengan nuansa korupsi. Ketua masyarakat Profesional Madani, Ismed Hasan Putro mengatakan penjualan tanker dilakukan hanya berdasarkan persetujuan direksi dan komisaris, tanpa meminta persetujuan RUPS. Hal itu dikuatirkan akan menyulitkan direksi dan komisaris dikemudian hari karena berpotensi menimbulkan masalah hukum.Berdasarkan dokumen yang diterima Ismed dalam Working Group List yang disusun Goldman Sachs terdapat nama Corfina, yaitu perusahaan manajemen investasi lokal yang dibentuk oleh profesional bekas Citibank. Ismed mempertanyakan keterlibatan Corfina dalam hal ini.Selain itu keputusan penjualan VLCC akan menambah beban biaya distribusi yang harus ditanggung Pertamina dan negara. Bila sebelumnya beban sebesar US 65,4 juta yaitu harga beli kapal, maka dengan penjualan beban biaya distribusi akan menjadi minimal US 90 juta.Retno - Tempo News Room