Seorang petugas teller Bank Negara Indonesia (BNI) merapihkan uang rupiah saat berlangsungnya transaksi, Jakarta, (28/8). Nilai tukar rupiah terus tertekan hingga di posisi Rp 9.535 per dolar AS pada (28/8). Posisi itu melemah dari Rp 9.515 per dolar AS pada (27/8) dan makin tertekan dari posisi Jumat (24/8) di level Rp 9.504 per dolar AS, (23/8) Rp 9.495 per dolar AS, (16/8) Rp 9.498 per dolar AS dan (15/8) Rp 9.494 per dolar AS. Tempo/Aditia Noviansyah
TEMPO.CO, Jakarta - Kebijakan The Fed yang dirilis pekan lalu membuat nilai tukar rupiah cukup perkasa terhadap dolar Amerika Serikat. Pengumuman The Fed menyebabkan menguatnya aset-aset yang dianggap berisiko dan berimbal hasil tinggi. Imbasnya, dolar Amerika yang biasanya dianggap sebagai mata uang safe haven mulai ditinggalkan para investor.
Dipasar non deliverable forward (NDF) pasar New York akhir pekan lalu rupiah ditutup menguat dibawah level 9.500 per dolar AS sehingga membuka ruang penguatan mata uang lokal awal pekan ini.
Nilai tukar rupiah pada Jumat lalu ditutup langsung terapresiasi cukup signifikan mendekati level 9.500 per dolar AS. Akhir pekan lalu mata uang lokal ditutup menguat 72 poin (0,75 persen) menjadi 9.505 per dolar AS. Berarti, dalam sepekan lalu juga menguat 65 poin (0,68 persen) dari minggu sebelumnya di 9.570 per dolar AS.
“Digulirkannya stimulus lanjutan (QE3) bank sentral AS akan member dampak positif bagi rupiah,” kata ekonomi dari PT Samuel Sekuritas, Lana Soelistianingsih.
Adanya stimulus akan mendorong pertumbuhan ekonomi AS ataupun global. Permintaan atas komoditas, yang merupakan andalan ekspor Indonesia, juga akan meningkat. Harga komoditas tentunya akan naik, sehingga dapat mempersempit defisit neraca perdagangan.
Aliran dana asing akan masuk ke Indonesia seiring dengan membanjirnya likuiditas di pasar finansial global. Dengan begitu, pasokan dolar AS di pasar domestik akan meningkat, sehingga rupiah masih berpotensi menguat. Tapi, untuk jangka pendek, rupiah masih akan berada di kisaran 9.500 per dolar AS.