Importir Minta Pengawasan Kesejahteraan Hewan Diperketat
Selasa, 31 Mei 2011 11:12 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) meminta pemerintah menambah pengawasan terhadap kesejahteraan hewan. Ini terkait ancaman penghentian ekspor sapi bakalan karena tudingan kekejaman atas sapi Australia di Indonesia. "Ini soal pengawasan yang kurang efektif," kata Direktur Eksekutif Aspidi, Thomas Sembiring, kepada Tempo, Selasa, 31 Mei 2011.
Thomas mengatakan, sebetulnya pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan, Kementerian Pertanian, telah mengatur kesejahteraan hewan, termasuk di dalamnya tata cara pemotongan hewan. "Indonesia sudah menganut animal welfare, tetapi entah sektor mana yang kurang pengawasannya," ujar dia.
Jika muncul keluhan yang datang dari Australia, berarti masih ada yang salah dalam pelaksanaan aturan kesejahteraan di Indonesia. "Petugas di rumah pemotongan hewan berarti belum menjalankan aturan pemotongan sesuai dengan prosedur," tutur Thomas.
Thomas menjelaskan, dari video yang difilmkan juru kampanye hak asasi binatang Australia itu terlihat rumah pemotongan memang belum menjalankan prosedur. "Di dalam video, sapi diikat, kemudian dibanting. Setelah menggelepar, sapi disembelih. Kalau seperti ini tidak menjalankan kesejahteraan hewan," ujarnya.
Di luar negeri, menurut Thomas, petugas rumah potong membuat pingsan sebelum hewan itu dipotong. "Kalau memotong hewan, buat seminimal mungkin hewan tidak merasakan sakit," ujarnya. Dia meminta agar pemerintah memperbaiki dan segera mengawasi prosedur pemotongan hewan di Indonesia.
Thomas menjelaskan, pengawasan kesejahteraan hewan masih sangat lemah. Membangun peternakan berarti menyangkut cara pemotongan, termasuk seberapa higienis dan halalnya hewan saat dipotong. Ia ingin pemerintah menanggapi kasus ini secara bijak. Jika dapat dicegah, pemerintah harus segera memperbaikinya. "Jangan sampai merembet ke arah politik," katanya.
Menurut Thomas, isu kekejaman itu bukan kali pertama terjadi. Australia juga pernah menuntut hal yang sama terhadap Mesir dalam prosedur pemotongan domba. "Ini sudah pernah dilakukan di negara lain. Jadi, tergantung pemerintah dan pihak terkait," ujarnya.
Saat ini, kata dia, kebutuhan impor sapi Indonesia masih berkisar 35-40 persen. Jangan sampai dengan kejadian ini, tuturnya, akan muncul wacana untuk menghentikan impor sapi dari luar negeri. "Kalau impor dihentikan, habislah sapi kita," kata Thomas.
Perdagangan ternak ke Indonesia adalah bisnis besar bagi Australia. Lebih dari 500 ribu sapi diekspor setiap tahun. Ternak terutama diekspor dari Pelabuhan Darwin di Northern Territory serta Broome dan Wyndham di Australia Barat.
Berdasarkan perkiraan, kebutuhan daging sapi sepanjang tahun ini mencapai 506.000 ton. Jumlah tersebut diperoleh dari impor 600 ribu ekor sapi bakalan dan impor 72 ribu ton daging sapi. Sisa kebutuhan berasal dari pasokan lokal.
Sebuah rekaman penyembelihan sapi ditampilkan dalam program ABC's Four Corners pada Senin, 30 Mei 2011, malam waktu setempat. Dalam tampilan tersebut terlihat sapi asal Australia rata-rata dipotong di tenggorokan sebanyak sepuluh kali. Semestinya sapi hanya dipotong dalam satu sayatan. Tak hanya itu, hewan-hewan itu juga mengalami kekerasan lain, termasuk dicungkil mata dan diputus ekornya.
Pemerintah Federal Australia akhirnya memutukan untuk menunda ekspor binatang hidup ke sejumlah fasilitas penyembelihan di Indonesia. Menteri Pertanian, Joe Ludwig, mengatakan keputusan itu berdasarkan rekaman yang dikumpulkan Animals Australia yang ditayangkan pada program Four Corners ABC.
"Saya telah memutuskan untuk menghentikan perdagangan hewan hidup untuk fasilitas yang diidentifikasi oleh rekaman itu," katanya seperti yang dikutip Australia Associated Press, Selasa, 31 Mei 2011.
SUTJI DECILYA | BOBBY CHANDRA