TEMPO Interaktif, Jakarta - Batas waktu proses divestasi Newmont sebenarnya jatuh pada hari ini, tetapi proses divestasi tersebut kini kembali diperpanjang untuk tiga puluh hari mendatang akibat perebutan saham yang belum rampung.
"Menteri ESDM telah kirim surat ke Menteri Keuangan yang isinya memandang perlu adanya perpanjangan," ujar Staf Ahli bidang Informasi dan Komunikasi Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Kardaya Wanika, Senin (18/4).
Menurut Kardaya, terdapat dua pertimbangan dalam memperpanjang proses tersebut yaitu proses pengalihan dari Newmont ke pemerintah yang masih harus diperinci, dan adanya tuntutan pihak ketiga yang masih harus dipelajari."Agar ke depan tidak menimbulkan masalah," katanya. Perpanjangan proses divestasi tersebutpun telah disampaikan pemerintah kepada Newmont."Mereka tidak ada keberatan,".
Perpanjangan kali ini praktis menjadi perpanjangan proses untuk yang ketigakalinya untuk proses divestasi Newmont Nusa Tenggara.Semula, pemerintah menentukan batas waktu divestasi sampai 18 Desember 2010, namun proses pengalihan sisa saham sebesar 7 persen tersebut tak kunjung rampung sehingga diperpanjang sampai 18 Maret lalu. Sampai Maret, proses divestasi juga tak selesai dan diperpanjang hingga 18 April ini.
Proses divestasi Newmont menjadi berbelit karena perebutan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang sama-sama ingin memiliki sisa saham 7 persen dari jatah divestasi 31 persen yang ditentukan.Newmont melakukan divestasi tujuh persen sahamnya tahun ini sesuai dengan aturan kontrak karya. Dalam kontrak, Newmont wajib mendivestasi saham tambang tembaga dan emas di Batu Hijau secara bertahap hingga 31 persen.
Divestasi 10 persen saham periode 2006-2007 senilai US$ 352 juta telah diambil oleh pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat dengan menggandeng penyokong dana PT Multicapital (anak usaha PT Bumi Resources Tbk).Divestasi 14 persen saham periode 2008-2009 senilai US$ 492 juta juga diambil oleh konsorsium pemerintah daerah dan Multicapital.
Ternyata tak hanya produk-produk buatan Cina yang membajiri Indonesia. Beberapa produk dalam negeri khususnya buah-buahan asli Indonesia saat ini mulai banyak dikonsumsi masyarakat Cina atau biasa juga disebut Republik Rakyat Tiongkok.
Lemahnya Indonesia menghadapi banjir impor Cina pasca diberlakukannya pasar bebas Cina-ASEAN (CAFTA) setahun lalu dinilai karena adanya kesalahan strategi.