Sebelumnya, berbagai pihak berharap Inalum dikuasai 100 persen oleh Indonesia termasuk Kementerian Badan Usaha Milik Negara yang mewakilkan PT Aneka Tambang Tbk mengambilalih 58,9 persen saham Jepang di Inalum.
Saat ini, kata Hidayat, tim perunding yang dipimpinnya sedang mengevaluasi perkiraan biaya yang harus disiapkan Indonesia untuk membeli saham Jepang. “Evaluasinya sekitar US$ 700-800 juta. Harapan kami masih bisa turun," ujarnya.
Evaluasi tersebut dilakukan oleh auditor independen. “Auditor independen sebagai second opinion. Atas dasar itu nanti untuk kepentingan nasional, paling tidak (Indonesia) yang mayoritas di Inalum,” ujar Hidayat.
Tim perunding, sambung Hidayat, juga sedang membuat blueprint dari kluster industri aluminium. “Saat ini sektor hilirnya nggak tumbuh,” kata dia.
Ia menambahkan, evaluasi masalah harga diharapkan bisa rampung dalam sebulan. Adapun untuk keseluruhan proses pembahasan, menurut Hidayat, diharapkan pihaknya akan selesai pada 31 Oktober tahun ini.
Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar mengatakan, pihaknya hanya memiliki satu opsi penawaran pengambilalihan Inalum yakni, Inalum dikuasai seratus persen oleh Indonesia.
Demi mewujudkan hal tersebut, Kementerian BUMN melibatkan empat BUMN ke dalam proyek ini. “Kami akan mengikutsertakan Perusahaan Pengelola Aset, PT Danareksa Sekuritas, dan PT Bahana Securities untuk back up pendanaan. Sedangkan back up teknis akan melibatkan PT Aneka Tambang Tbk,” kata Mustafa beberapa waktu lalu.
Berapapun biaya yang mesti dibayar untuk mengambil alih saham Jepang, Mustafa berujar, BUMN siap. “Misal ada kebutuhan dana untuk membayar nilai buku proyek tersebut, BUMN siap. Penyandang dana seperti Danareksa sudah bersedia sekali. Angka US$ 700-800 juta sendiri belum final. Tapi kelihatannya BUMN tidak keberatan menyediakan dana itu. Entah nantinya ‘sendiri’, konsorsium, atau joint (venture),” kata dia.
Inalum didirikan di Jakarta pada 6 Januari 1976 berdasarkan Perjanjian Induk (Master of Agreement) yang diteken pada 7 Juli 1975 di Tokyo. Pemerintah Indonesia saat itu meneken perjanjian dengan 12 perusahaan swasta Jepang.
Mereka adalah Sumitomo Chemical Company Ltd, Sumitomo Shoji Kaisha Ltd, Nippon Light Metal Company Ltd, C Itoh & Co Ltd, dan Nissho Iwai Co Ltd. Selain itu, Nichimen Co Ltd, Showa Denko KK, Marubeni Corp, Mitsubishi Corp, dan Mitsui Aluminium Co Ltd.
Sebanyak 41,1 persen saham Inalum dimiliki Indonesia, adapun sisanya 58,9 persen milik pemerintah Jepang melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC), dan 12 perusahaan yang meneken kesepakatan tersebut.
Kontrak Inalum akan berakhir pada 2013. Sesuai ketentuan yang diteken dalam perjanjian itu, tiga tahun sebelum masa kontrak berbentuk "build, operate, and transfer" (BOT) itu berakhir, semua pembayaran utang harus dilunaskan.
Investasi proyek raksasa Asahan ditanamkan sejak 1976. Proyek yang berlokasi di Porsea, Asahan, Sumatera Utara itu, menelan dana sekitar 400 miliar yen atau setara Rp 50 triliun dengan modal pinjaman dari pemerintah Jepang.
ISMA SAVITRI