Optimisme ini dicetuskan pakar ekonomi UI, Prof Dr Sri Edi Swasono, usai peluncuran bukunya Dari Lengser ke Lengser, di Jakarta, Sabtu (24/2) sore. Menurut Sri Edi, pemerintah tidak perlu selalu menuruti keinginan IMF, termasuk dalam menaikkan harga BBM. “Jika rakyat mengamuk gara-gara kebijakan ini, apakah IMF mau bertanggung jawab?” kata dia.
Selama ini, kata mantan Ketua Dekopin itu, ada empat hal yang menjadi hambatan terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertama, dana dari IMF mau pun Bank Dunia belum juga mencair sepenuhnya, bahkan masih sangat sedikit daripada jumlah yang dijanjikan. Kedua, investor asing belum mau masuk ke Indonesia, ketiga, konglomerat yang merajai dunia ekonomi Indonesia masih sekarat, dan terakhir bank-bank belum sepenuhnya pulih dari krisis.
Meski begitu, “Kenyataannya pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 4 persen,” ujarnya. Sri-Edi menilai, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai tingkat yang cukup menggembirakan karena potensi untuk itu ada. Dan, menurut dia, hal itu bukan oleh para konglomerat, melainkan usaha kecil dan menengah. “Itu bukti bahwa Indonesia memang memiliki potensi pemberdayaan diri itu,” kata dia.
Karena itu, kata Sri Edi, pemerintah seharusnya tidak perlu memiliki ketakutan jika IMF angkat kaki dari Indonesia, maka rakyat akan menderita. Sehingga pemerintah sangat menurut kepada IMF, termasuk menaikkan harga BBM. “Walau pun dari segi ekonomi, keputusan ini memang baik, namun dampaknya terhadap situasi politik dan sosial justru lebih berbahaya,” kata dia mengingatkan.
Ia melihat, walau pun kenaikan harga BBM secara tidak langsung berimplikasi pada peningkatan tabungan untuk APBN, karena pengeluaran pemerintah untuk subsidi jauh berkurang, namun hal itu belum dapat menjamin membaiknya kehidupan masyarakat. Sri Edi justru khawatir kenaikan ini akan berdampak pada biaya produksi dan akhirnya memukul sektor ekonomi riil yang baru mulai bangkit kembali. (Dara Meutia Uning)