TEMPO Interaktif, Jakarta - Hasil riset dari lembaga PT AGB Nielsen menunjukkan bahwa pasar tradisional masih mendominasi penjualan ritel di dalam negeri, meskipun pertumbuhannya jauh lebih lambat dibanding pasar modern. "Konsumen masih lebih banyak berbelanja di pasar tradisional," kata Direktur Eksekutif Ritel Nielsen Teguh Yunanto hari ini, Selasa (8/12) di Jakarta.
Menurut Yunanto sekitar 80 persen pasar di Indonesia dikuasai pasar tradisional dengan jumlah toko mencapai dua juta. Namun pertumbuhan pasar tradisional terbilang rendah, tahun ini hanya tiga persen saja. Meskipun tahun lalu pertumbuhannya mencapai 20 persen, didorong oleh faktor inflasi yang memicu konsumen beralih ke pasar tradisional untuk mendapat harga murah.
Direktur Retil Measurement Nielsen Yongki Susilo mengatakan jika penjualan rokok dipisahkan dari pasar tradisional, pangsa pasar berkurang menjadi 65 persen. "Ritel modern itu 20 persen termasuk telur, sayur dan lainnya yang basah. Kalau tidak termasuk (pangsa pasar) modern lebih kecil lagi," ujarnya.
Namun pasar modern mencatat angka pertumbuhan yang cukup tinggi dibanding pasar tradisional. Setiap tahun pertumbuhannya rata-rata di atas 20 persen. Meski tahun ini pertumbuhan pasar ritel modern agak tertahan, hanya 13 persen. "Tahun ini saja ada lebih dari 800 outlet baru dibuka," katanya.
Pertumbuhan pasar modern terutama didorong oleh pembukaan minimarket-minimarket baru. Dalam lima tahun terakhir, kata Yunanto, pertumbuhan pasar ritel modern antara 30 persen sampai 35 persen. "Minimarket yang paling men-drive pertumbuhan," terangnya.
Karena alasan ini Yongki menyarankan agar masyarakat tidak perlu mengkuatirkan pertumbuhan pasar modern. "Hampir tiap hari orang Indonesia pergi ke pasar tradisional karena di sana bisa membeli produk yang lebih segar dan hidup lagi," katanya. Apalagi pembangunan pasar-pasar modern baru mengikuti pertumbuhan infrastruktur.