Bahlil Ungkap Penyebab Hilirisasi Nikel Masih Berdampak Negatif pada Lingkungan
Reporter
M. Rizki Yusrial
Editor
Abdul Manan
Jumat, 18 Oktober 2024 05:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, dalam disertasinya, menyatakan bahwa perencanaan hilirisasi nikel di Indonesia masih bersifat parsial. Hal tersebut berdampak negatif pada lingkungan dan kualitas hidup masyarakat lokal di daerah penghasil nikel.
Ketua Umum Partai Golkar itu mengklaim telah melakukan penelitian dengan langsung ke daerah seperti Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, dan lokasi PT Indonesia Weda Bay Industrial Park di Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara.
Bahlil menjelaskan, pengembangan kawasan industri nikel di Morowali telah dimulai sejak 2012 dan meningkat pesat pada 2016. Hingga saat ini, belum ada kawasan industri yang dikerjakan secara paralel seperti yang terjadi di Morowali. "Ini barang baru sekali dan kemudian ini terjadi sampai dengan sekarang ini. Kita tahu bahwa kondisinya tidak terlalu baik," katanya.
Bahlil mengatakan, ini adalah sesuatu yang baru. Perencanaan yang dilakukan belum optimal, sehingga berdampak negatif pada lingkungan dan kualitas hidup masyarakat di sekitarnya.
Pemerintah berupaya menegakkan regulasi. Namun, masih terdapat kebingungan dalam menentukan langkah yang tepat untuk menerapkan aturan tersebut. "Jadi memang seperti anak kecil lah. Kalau anak baru lahir jatuh-jatuh ya biasa itu. Tapi kalau dia jatuh terus itu nanti yang nggak bagus," katanya.
Mantan Menteri Investasi itu juga mengatakan bahwa masalah yang muncul dalam hilirisasi itu merupakan kesalahan bersama, termasuk pemerintah dan pasar. Namun ia mengingatkan untuk tidak berpikir ke belakang. Ia menyarankan untuk segera melakukan perbaikan. "Ketika kami di Kementerian Investasi, kami sudah membuat standar. Standarnya minimal harus sama dengan di Weda Bay, sambil kita memperbaiki yang di Morowali," katanya.
Ada sejumlah masalah yang bisa diidentifikasi dari hilirisasi nikel ini. Termasuk soal kesehatan masyarakat. Dalam temuan Bahlil, sebesar 54 persen masyarakat di daerah Kabupaten Morowali mengalami kesehatan berupa infeksi saluran pernapasan atas atau ISPA.
Bahlil Lahadalia resmi menyandang gelar doktor usai menjalani Sidang Terbuka yang digelar oleh Kajian Stratejik dan Global di Universitas Indonesia, Depok, 16 Oktober 2024. Judul disertasinya adalah "Kebijakan, Kelembagaan dan Tata Kelola Hirilisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia".
Pilihan Editor: Kisah Bahlil Usai Raih Gelar Doktor dari UI, Mengaku Tidak Punya Target hingga Wujudkan Mimpi Ayah