Tanggapan Pengamat dan Ekonom Soal Potong Gaji 3 Persen untuk Tapera: Kaji Ulang atau Batalkan
Reporter
Rachel Farahdiba Regar
Editor
S. Dian Andryanto
Kamis, 6 Juni 2024 09:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah akan mewajibkan pemotongan gaji pekerja sebesar 3 persen untuk Tapera. Kebijakan ini diumumkan usai Presiden Joko Widodo atau Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera. Namun, kebijakan ini mendapatkan tanggapan dari para pengamat dan ekonom.
Center of Economic and Law Studies (Celios)
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira merespons, Tapera memberatkan pekerja lantaran diwajibkan ikut dalam kepesertaannya. Iuran Tapera juga relatif besar dengan penghitungan persentase dari gaji.
"Jika pekerja tersebut berpendapatan di atas upah minimum regional, maka setiap bulan gaji pekerja itu dipotong 2,5 persen," kata Bhima dalam Policy Brief Tapera untuk Siapa? Menghitung Untung Rugi Kebijakan Tapera.
Kondisi ini juga mengancam industri pengolahan karena banyak pabrik terpaksa menutup operasional. Celios pun menyarankan pemerintah mengubah kebijakan ini agar hanya untuk ASN, TNI/Polri, sedangkan pekerja formal dan pekerja mandiri bersifat sukarela.
Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas)
Direktur Ideas, Yusuf Wibisono menyatakan, pemerintah harus memiliki terobosan baru memenuhi kebutuhan rumah rakyat tanpa melalui pemotongan gaji pekerja. Menurut Yusuf, backlog atau kesenjangan kebutuhan dan pasokan rumah di Indonesia mencapai 18 persen. Dengan jumlah rumah tangga sekitar 67 juta, backlog itu sekitar 12,7 juta keluarga.
“Pemerintah sebaiknya membatalkan kebijakan potongan gaji pekerja untuk Tapera dan fokus pada upaya memenuhi kebutuhan rumah 18 persen keluarga Indonesia menuju zero backlog,” kata Yusuf, pada 29 Mei 2024.
Yusuf juga memberikan saran kebijakan, yaitu mengembalikan Kementerian Perumahan Rakyat, menyediakan tanah dan menghapus biaya tinggi pembangunan rumah rakyat, meminimalkan biaya produksi dan harga jual rumah rakyat diikuti meningkatkan daya beli, merevitalisasi BUMN, serta mendorong efisiensi perbankan dan menekan suku bunga KPR.
AS Property Advisory
Pengamat AS Property Advisory, Anton Sitorus mengkritisi kebijakan pemerintah terkait Tapera. Ia menilai kewajiban tersebut cukup untuk ASN atau pegawai BUMN, tidak perlu pekerja swasta.
“Menurut saya, (karyawan swasta) jangan diwajibkan, tetapi kalau mau ikut (Tapera), silakan. Namanya Tabungan. Kalau bisa, ya, silakan” kata Anton, pada 28 Mei 2024.
Anton mengatakan, kewajiban Tapera bukan hanya membebani pekerja, melainkan pengusaha karena menanggung iuran 0,5 persen. Ia juga meminta pemerintah untuk meninjau kembali aturan tersebut sebelum deadline pada 2027. Pasalnya, ada indikasi tumpang tindih dengan manfaat BPJS Ketenagakerjaan. Pemerintah juga harus menegaskan tentang kepastian karena Tapera bukan tabungan yang bisa diakses melalui perbankan.
Ekonom, Poltak Hotradero
Ekonom Poltak Hotradero mengatakan, skema regulasi Tapera harus ditinjau kembali. "Pendapat pribadi ya, perlu di-review karena memang seperti yang saya sebutkan ini sebenarnya bagian suplemen dari program yang sudah ada," ujarnya, pada 30 Mei 2024.
Lebih lanjut, Poltak menguraikan, Tapera awalnya bagaikan suplemen untuk mempercepat penyediaan rumah bagi masyarakat tidak mampu. Namun, Indonesia tidak bisa tumbuh lebih cepat, lebih baik apabila tabungan dana masyarakat tidak tumbuh. Sebenarnya, Tapera memiliki tujuan baik, tetapi pengawasannya perlu dipertegas.
RACHEL FARAHDIBA R | IKHSAN RELIUBUN | RIRI RAHAYU | ANNISA FEBIOLA
Pilihan Editor: Moeldoko Sebut Tapera Tidak akan Ditunda, Ini Kritik Mahfud Md: Hitungan Matematisnya Tidak Masuk Akal