Bahlil Sebut Ada Diskriminasi ke Negara Berkembang dalam Investasi Energi Hijau: Anomali
Reporter
Riani Sanusi Putri
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Jumat, 3 Februari 2023 14:10 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menilai ada diskriminasi terhadap negara berkembang dalam pengembangan energi hijau. Ia menyebut hanya satu banding lima investasi energi hijau yang masuk ke negara berkembang dibandingkan ke negara maju.
“Berbicara tentang energi hijau, ini terjadi anomali berpikir antara negara maju dan berkembang. Seharusnya tidak ada diskriminasi antar negara berkembang dan negara maju," kata dia, Kamis 2 Februari 2023.
Baca: Bahlil Diminta Bantu Perizinan SpaceX Masuk ke IKN: Silakan Saja, Inventarisir Apa Masalahnya
Padahal, kata Bahlil, berbagai belahan dunia menyatakan bahwa semua negara harus memakai energi baru terbarukan. Oleh karena itu, menurut dia perlu persamaan berpikir bahwa semua negara setara. Terlebih, menurut dia, membangun ekonomi hijau baik melalui transisi energi maupun investasi yang berkelanjutan adalah salah satu fokus pemerintah saat ini.
Adapun pemerintah Indonesia telah menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 31,89 persen pada tahun 2030. Hal itu dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan tetap memperhatikan lingkungan. Dia pun berharap Indonesia dapat mencapai target nol emisi karbon pada tahun 2045.
Sebelumnya, dalam acara World Economic Forum (WEF) Annual Meeting 2023 di Davos, menyinggung soal diskriminasi terhadap negara berkembang, khususnya dalam bidang investasi. Ia berujar negara maju harus mendengarkan ide-ide negara berkembang.
Selanjutnya: prinsip pemerataan antara negara maju dan negara berkembang tercatat dalam Leaders’ Declaration ...
<!--more-->
Selain itu, ia meminta negara maju agar melakukan transfer teknologi ke negara berkembang untuk memberikan nilai tambah. Menurut Bahlil hal itu sangat penting dalam rangka pemerataan. Selain itu juga demi mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Ia menuturkan tidak ada artinya pertumbuhan negara di dunia tanpa ada pemerataan pertumbuhan. "Maka konsep kami adalah, harus ada kolaborasi antara pengusaha daerah, investor asing, dengan masyarakat setempat agar dapat tumbuh bersama-sama,” kata Bahlil dalam keterangan tertulis pada 18 Januari 2023.
Menurut dia, prinsip pemerataan antara negara maju dan negara berkembang tercatat dalam Leaders’ Declaration yang dihasilkan dari pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada November 2022 lalu. Pernyataan itu tercantum di paragraf 37 yang menuangkan komitmen para anggota G20 untuk melaksanakan kerja sama perdagangan dan investasi internasional.
RIANI SANUSI PUTRI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini