Ekspor CPO Dibuka, Petani Sawit Cerita Harga TBS Masih Rendah di Banyak Daerah
Reporter
Hamdan Cholifudin Ismail
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 25 Mei 2022 05:29 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menjelaskan bahwa kalangan petani sawit masih harus menghadapi penurunan harga tandan buah segar (TBS) sawit di banyak wilayah di Indonesia. Kalaupun ada kenaikan harga TBS, menurut dia, pada umumnya perubahannya masih relatif kecil.
Pernyataan itu disampaikan Henry usai Presiden Joko Widodo atau Jokowi resmi mencabut larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) sejak Senin, 23 Mei 2022.
Ia mencontohkan di beberapa desa di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara terjadi kenaikan harga TBS sawit Rp 50 per kg, dan ada juga yang harganya tetap. "Harga di tingkat petani bervariasi di kisaran Rp 1.700 - 2.000. Sementara harga di loading ramp di kisaran Rp 2.000 - 2.200," kata Henry lewat keterangan tertulis pada Selasa, 24 Mei 2022.
Sedangkan di Pasaman Barat, Sumatera Barat harga TBS di peron Rp 1.750, sementara untuk langsung ke pabrik kelapa sawit (PKS) di kisaran Rp 1.950. Sementara di Riau, tepatnya di Kabupaten Rokan Hulu, harga TBS sudah ada yang Rp 2.300 per kg jika diantarkan langsung ke PKS.
"Kalau di Jambi, harga TBS juga tidak lagi turun. Di Tanjung Jabung Timur harga TBS tetap Rp 1.625 per kg, di Muara Bungo Rp 2.200 per kg, dengan kenaikan Rp 100 per kg. Begitu juga di Kabupaten Muaro Jambi, Tebo, dan Tanjung Barat, kenaikan mulai dari Rp 75 per kg sampai Rp 250," ucap Henry.
Ia lalu mengutip janji Presiden Jokowi pada 19 Mei 2022 lalu bahwa kepala negara berjanji tetap mengawasi dan memastikan pasokan minyak goreng terpenuhi dengan harga yang terjangkau.
Nah, menurut Henry, pemerintah menghadapi tantangan berat untuk bisa menjaga harga minyak goreng berada dan stabil di harga Rp 14.000 per liter. "Jika tidak, pada akhirnya rakyat kecil dan terkhusus keluarga petani dan buruh kembali mengalami kesulitan mendapatkan minyak goreng," katanya.
<!--more-->
Ia juga mengungkit bahwa kepala negara menyebutkan pembenahan prosedur dan regulasi di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) agar terus disederhanakan dan dipermudah.
Oleh karena itu, kata Henry, SPI meminta presiden agar pemerintah membuat kebijakan harga dasar kelapa sawit untuk menjadi rujukan pihak pabrik kelapa sawit membeli TBS petani. "Selain itu, BPDKS untuk mengalokasikan anggarannya kepada para petani sawit skala kecil, karena selama ini masih dinikmati oleh korporasi atau industri besar untuk biodiesel," ucapnya.
Peristiwa berkurangnya cadangan dan harga minyak goreng yang tidak terkontrol oleh pemerintah ini, yang disusul dengan kebijakan palarangan dan pencabutan kebijakan larangan ekspor CPO, menurut Henry, harus dijadikan sebagai momen untuk merombak tata kelola persawitan Indonesia melalui reforma agraria.
"Sawit diurus petani, bukan korporasi. Perkebunan sawit harus diserahkan pengelolaannya kepada petani dikelola usaha secara koperasi mulai dari urusan tanaman, pabrik CPO dan turunannya," ucap Henry.
Ia menilai negara harus berperan dalam transisi ini dengan melaksanakan reforma agraria, tanah perkebunan atau pribadi yang luasnya di atas 25 hektare dijadikan tanah obyek reforma agraria (TORA). "Korporasi mengurus industri pengolahan lanjutannya saja seperti pabrik sabun, obat-obatan, dan usaha-usaha industri turunan lainnya saja," katanya.
Pemerintah, menurut Henry, juga harus menggandeng ormas tani seperti SPI untuk menetapkan harga ideal TBS. "Agar petani sawit untung, bukan malah buntung."
Baca: Sri Mulyani Beberkan 3 Ancaman Besar yang Dihadapi Dunia, Apa Saja?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.