Ekonom Prediksi Efek Taper Tantrum The Fed 2021-2022 Tak Separah 2013, tapi..

Senin, 30 Agustus 2021 10:21 WIB

Orang-orang berhjalan di samping gedung bank sentral AS, Federal Reserve atau The Fed, September 14, 2008.[REUTERS /Chip]

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar kebijakan ekonomi Achmad Nur Hidayat memperkirakan efek Taper Tantrum The Fed 2021-2022 tidak separah 2013. Namun, ia meminta semua pihak tetap waspada.

Menurutnya, normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat atau yang dikenal taper tantrum The Fed merupakan konsekuensi bank sentral AS untuk mengimbangi pemulihan ekonominya.

Ekonomi AS, kata Achmad, tumbuh menakjubkan di level 12,20 persen year-on-year pada semester pertama 2021. Ditambah lagi, terjadi penurunan terendah pada data pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5,4 persen dan adanya tekanan inflantory AS menembus 5,3 persen di Juli 2021.

"Melihat indikator makro tersebut, pengambil keputusan Fed merasa perlu melalukan normalisasi,” ujar Direktur Eksekutif Narasi Institute itu dalam keterangan tertulis, Senin, 30 Agustus 2021.

Achmad mengatakan tapering Fed tahun 2021-2022 menjadi perhatian ahli ekonomi dan pengambil kebijakan lantaran kebijakan serupa pada tahun 2013 berdampak kepada menciutnya pasar keuangan Indonesia secara signifikan.

Advertising
Advertising

“Pada 2013, pembalikan modal (capital outflow) besar-besaran terjadi, rupiah yang sempat berada di bawah Rp 10 ribu per dolar AS anjlok hingga ke level 12.000 per dolar AS pada 2013," tutur Achmad.

Kala itu, ujar dia, rupiah terus melemah hingga menyentuh Rp 14.690 per dolar AS pada puncak tapering off Fed yaitu September 2015. Rupiah menguat kembali karena ada sentimen perang dagang pada 2019, namun tidak lama karena pandemi melanda dunia pada 2020.<!--more-->

Takdir pasar saham pun tak jauh lebih baik dari rupiah. Indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sebelumnya berada di level 5.200 jatuh ke level 4.200 di akhir 2013 dan bahkan sempat menyentuh titik terendahnya di bawah 4.000 pada Agustus 2013. Kementerian Keuangan mencatat, arus modal yang keluar dari Indonesia saat periode taper tantrum mencapai Rp 36 triliun.

Achmad mengatakan prediksi kebijakan normalisasi tapering off The Fed tahun 2021 akan terjadi di kisaran September, Oktober, November atau Desember 2021, jauh dari prediksi Bank Indonesia sebelumnya di paruh pertama 2022.

Bulan apapun nanti yang dipilih FOMC Fed, kata Achmad, faktanya para petinggi Fed pada pertemuan simposium di Jackson Hole mengutarakan bahwa di tahun 2021 akan terjadi satu kali tapering off.

“Meski demikian, kondisi Indonesia tahun 2021 berbeda dari tahun 2013. Kondisi ekonomi Indonesia dalam indikator moneter, dan indikator risiko masih lebih baik tahun 2021 daripada 2013,” ujar Achmad.

Dalam indikator moneter, cadangan devisa Indonesia jauh lebih kuat Saat ini ketimbang Juli 2013 lalu. Pada Juli 2021, cadangan devisa Indonesia berada pada level US$ 137,30 miliar, adapun pada Juli 2013 berada di level US$ 99,38 miliar.

Begitu juga suku bunga acuan BI lebih rendah di level 3,5 persen di 2021 dibandingkan 7.5 persen di 2013. Indikator risiko juga lebih baik 2021 daripada 2013, misalnya porsi asing di SBN jauh berkurang di level 22,82 persen Juni 2021 dibandingkan 32,54 persen di Juni 2013.

Porsi asing di IHSG juga jauh turun di level 43,14 persen dibandingkan 60,52 persen pada 2013. Begitu pula dengan porsi utang swasta terhadap total utang Indonesia juga berkurang di level 49,92 persen pada Juni 2021 dibandingkan 53,57 persen di Juni 2013.<!--more-->

Namun demikian, Achmad mengingatkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia 2021 tetap memiliki kelemahan dibanding 2013, yaitu pada indikator pertumbuhan ekonomi, indikator fiskal dan indikator keuangan.

“Namun harus diwaspadai pertumbuhan 2021 diprediksi di level 4,50 persen jauh lebih kecil daripada pertumbuhan 2013 di level 5,78 persen," kata Achmad.

Pertumbuhan kredit Juni 2021 yang kecil 0,59 persen dibandingkan 21,60 persen 2013 juga dinilai tidak banyak membantu pertumbuhan ekonomi di saat momen tapering off. "Meski efek taper tantrum FED 2021 tidak separah 2013, Ekonomi Indonesia tetap memiliki kerentanan ekonomi,” ujarnya.

Achmad menyatakan bahwa kerentanan ekonomi tersebut cukup fundamental karena terdapat pada besarnya defisit fiskal, rasio utang pemerintah terhadap PDB tinggi, serta utang swasta dan total utang dalam triliun rupiah yang melonjak pada 2021 dibandingkan 2013.

Ia berharap kerentanan tersebut harus dapat diantisipasi dengan melakukan debt management terhadap SBN, utang Swasta dan utang BUMN dengan lebih baik.“Di saat yang bersamaan, defisit pada neraca transaksi berjalan saat ini dapat dikatakan berada pada level manageable."

Ia menjelaskan bahwa Bank Indonesia melalui SKB III dari skema Burden Sharing 2021-2022 telah menjadi standby buyer, baik di pasar primer maupun di pasar sekunder sehingga resiko peningkatan Yield SBN dapat diminimalisir.

“Dengan intervensi BI tersebut, semoga dampak tapering off 2021/22 terhadap depresiasi rupiah masih dalam batas fundamentalnya yang wajar,” kata dia.

Baca Juga: BEI Ungkap Penyebab Anjloknya IHSG hingga ke Bawah Level Psikologis 6.000

Berita terkait

Samuel Sekuritas: IHSG Sesi I Ditutup Melemah ke Level 7.128,7, Berikut Saham yang Aktif Diperdagangkan

4 jam lalu

Samuel Sekuritas: IHSG Sesi I Ditutup Melemah ke Level 7.128,7, Berikut Saham yang Aktif Diperdagangkan

IHSG ditutup di level 7.128,7 atau turun 0,09 persen dibanding kemarin.

Baca Selengkapnya

CIMB Niaga Gandeng Principal Indonesia, Luncurkan Reksa Dana Syariah Berdenominasi Dolar AS

4 jam lalu

CIMB Niaga Gandeng Principal Indonesia, Luncurkan Reksa Dana Syariah Berdenominasi Dolar AS

Bank CIMB Niaga bekerja sama dengan Principal Indonesia untuk meluncurkan Reksa Dana Syariah Principal Islamic ASEAN Equity Syariah.

Baca Selengkapnya

Rupiah Menguat ke Level Rp 16.025 per Dolar AS

1 hari lalu

Rupiah Menguat ke Level Rp 16.025 per Dolar AS

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat dalam penutupan perdagangan hari ini ke level Rp 16.025 per dolar AS.

Baca Selengkapnya

Wamenkeu Suahasil Nazara Soroti 3 Faktor Penting dalam Ekonomi RI, Suku Bunga hingga Kurs Rupiah

1 hari lalu

Wamenkeu Suahasil Nazara Soroti 3 Faktor Penting dalam Ekonomi RI, Suku Bunga hingga Kurs Rupiah

Wamenkeu Suahasil Nazara menyoroti tiga faktor yang menjadi perhatian dalam perekonomian Indonesia saat ini. Mulai dari suku bunga yang tinggi, harga komoditas, hingga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Baca Selengkapnya

Samuel Sekuritas: IHSG Berhasil Tembus ke Zona Hijau, Saham Lippo Karawaci Melejit

1 hari lalu

Samuel Sekuritas: IHSG Berhasil Tembus ke Zona Hijau, Saham Lippo Karawaci Melejit

IHSG menutup sesi pertama hari Ini di level 7,150,9 atau +0.22 persen.

Baca Selengkapnya

IHSG Diperkirakan Menguat, Terpengaruh Sentimen Domestik dan Global

1 hari lalu

IHSG Diperkirakan Menguat, Terpengaruh Sentimen Domestik dan Global

IHSG hari ini, Senin, 6 Mei 2024 dibuka menguat 36,86 poin atau 0,52 persen ke posisi 7.171,58

Baca Selengkapnya

Rupiah Menguat di Akhir Pekan, Sentuh Level Rp 16.083 per Dolar AS

3 hari lalu

Rupiah Menguat di Akhir Pekan, Sentuh Level Rp 16.083 per Dolar AS

Nilai tukar rupiah ditutup menguat Rp 16.083 terhadap dolar AS pada perdagangan Jumat, 3 Mei.

Baca Selengkapnya

Tak Hanya Naikkan BI Rate, BI Rilis 5 Kebijakan Moneter Ini untuk Jaga Stabilitas Rupiah

3 hari lalu

Tak Hanya Naikkan BI Rate, BI Rilis 5 Kebijakan Moneter Ini untuk Jaga Stabilitas Rupiah

Gubernur BI Perry Warjiyo membeberkan lima aksi BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.

Baca Selengkapnya

Bos BI Yakin Rupiah Terus Menguat hingga Rp 15.800 per Dolar AS, Ini 4 Alasannya

3 hari lalu

Bos BI Yakin Rupiah Terus Menguat hingga Rp 15.800 per Dolar AS, Ini 4 Alasannya

Gubernur BI Perry Warjiyo yakin nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan menguat sampai akhir tahun ke level Rp 15.800 per dolar AS.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani: Meski Kurs Rupiah Melemah, Masih Lebih Baik dibanding Baht dan Ringgit

4 hari lalu

Sri Mulyani: Meski Kurs Rupiah Melemah, Masih Lebih Baik dibanding Baht dan Ringgit

Menkeu Sri Mulyani mengatakan, nilai tukar rupiah pada triwulan I 2024 mengalami depresiasi 2,89 persen ytd sampai 28 Maret 2024.

Baca Selengkapnya