Gedung Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK Agung Firman Sampurna mengatakan 443 dari 503 pemerintah daerah atau 88,07 persen pemerintah daerah masuk ke dalam kategori belum mandiri. Kesimpulan tersebut adalah hasil reviu atas kemandirian fiskal pemerintah daerah.
"Ini menunjukkan sebagian besar pemda masih sangat tergantung terhadap dana transfer ke daerah untuk mendanai belanja Pemda," ujar Agung di hadapan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, seperti disiarkan langsung di akun Youtube Sekretariat Kabinet, Jumat, 25 Juni 2021. Reviu tersebut adalah bagian dari Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2020.
Agung berujar mayoritas pemerintah daerah, 468 dari 503 Pemda atau 93,04 persen, tidak mengalami perubahan status atau kategori kemandirian fiskalnya sejak 2013. Bahkan, hal itu terjadi sampai adanya pandemi Covid-19 pada 2020.
Dari reviu tersebut, BPK juga melihat kesenjangan kemandirian fiskal antardaerah masih cukup tinggi. "Ini menunjukkan kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya masih belum rata," tutur Agung.
BPK pun menuturkan bahwa daerah bukan penerima dana keistimewaan atau dana ekonomi khusus memiliki proporsi status IKF lebih baik dibanding daerah penerima dana keistimewaan atau dana otonomi khusus.
"Pemberian dana keistimewaan atau dana otsus sebagai bagian dari transfer cenderung menimbulkan ketergantungan daerah atas transfer pusat," ujar Agung. <!--more--> Laporan yang sama juga menyertakan penilaian atas kualitas desentralisasi fiskal. Berdasarkan laporan tersebut, Agung berujar kebijakan di tingkat pemerintah pusat secara umum telah memungkinkan dan mendorong pemerintah daerah untuk memenuhi kriteria reviu desentralisasi fiskal.
Menurut reviu BPK, kualitas desentralisasi fiskal pada empat Pemda yang diuji petik; yakni Provinsi Aceh, Jawa Barat, Kabupaten Badung, dan Kota Mataram; masuk ke dalam kategori sangat baik.