BI Tanggapi Lonjakan Yield Obligasi AS yang Buat IHSG dan Rupiah Kompak Jeblok
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 19 Maret 2021 13:43 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) angkat bicara menanggapi dampak lonjakan imbal hasil atau yield obligasi US Treasury hingga tembus 1,7 persen yang memukul indeks harga saham gabungan atau IHSG dan nilai tukar rupiah saat ini.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Haryadi Ramelan menjelaskan, kenaikan imbal hasil obligasi dengan tenor 10 tahun hingga tembus 1,7 persen ke Tanah Air lebih merefleksikan optimisme pasar atas progress yang bagus dari vaksinasi di Amerika Serikat. Seperti diketahui, Amerika Serikat (AS) menargetkan herd immunity 70 persen pada Juni atau Juli tahun ini.
Hal ini ditambah beberapa indikator utama makro di AS yang membaik. Dengan begitu, proyeksi pertumbuhan ekonomi AS pada tahun ini diperkirakan bisa mencapai 6,5 persen dan inflasi di atas 2 persen.
Oleh karena itu, Haryadi optimistis pemulihan ekonomi Amerika Serikat bakal berimbas positif bagi perekonomian negara berkembang. "Justru akan memberi ruang meningkatnya permintaan impor (AS) dari emerging countries," ujar Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Haryadi Ramelan ketika dihubungi, Jumat, 19 Maret 2021.
Ia menjelaskan, nantinya, jika titik keseimbangan sudah tercapai, BI yakin akan ada aliran dana asing atau inflow mengalir kembali ke Indonesia. "At the soonest, mungkin semester II tahun ini sampai dengan 2022," ujar Haryadi.
Haryadi juga menyebutkan The Federal Reserve yang tidak khawatir dengan laju inflasi di AS karena indikator inflasi Federal Reserve adalah FITF (Flexible Inflation Targeting Framework). "Di mana ukuran inflasi tidak satu titik tapi beberapa titik atau periode."
The Fed juga masih meyakini inflasi pada 2022 akan di bawah 2 persen. Oleh karena itu, pergerakan imbal hasil atau yield US Treasury lebih mencerminkan optimisme pertumbuhan ekonomi AS yang semakin baik.
Adapun di dalam negeri, kata Haryadi, BI akan senantiasa ada di pasar mengawal keseimbangan pasokan dan permintaan valuta asing secara terukur dalam waktu yang tepat.
<!--more-->
Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada perdagangan hari ini bergerak ke zona merah. IHSG terpantau jeblok 0,18 persen atau 11,58 poin ke level 6.336,25 pada pukul 10.05 WIB, setelah dibuka melemah tipis 0,03 persen atau 1,82 poin ke level 6.346,01 pada awal perdagangan.
Pergerakan IHSG ini di antaranya masih dipengaruhi oleh sentimen imbal hasil obligasi AS dan pandangan The Fed yang cenderung dovish. Siang ini, nilai tukar rupiah di pasar spot terpantau melemah 46 poin atau 0,32 persen ke level Rp 14.456 per dolar AS pada pukul 11.21 WIB. Sementara itu, indeks dolar AS terpantau menguat 0,009 poin atau 0,01 persen ke level 91,853 pada pukul 11.15 WIB.
Adapun nilai tukar rupiah menyentuh posisi Rp 14.476 per dolar AS berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor). Angka itu melemah 64 poin atau 0,44 persen dari posisi kemarin.
Berdasarkan data Bloomberg, kurs rupiah terpantau melemah 55 poin atau 0,38 persen ke level Rp 14.465 per dolar AS pada pukul 10.10 WIB, setelah dibuka di level Rp 14.420 per dolar AS.
Sementara indeks dolar AS yang mengukur pergerakan greenback terhadap mata uang utama lainnya terpantau menguat 0,03 poin atau 0,04 persen ke level 91,89. Mata uang Garuda kembali kehilangan tenaganya setelah terapresiasi pada perdagangan kemarin.
Macroeconomic Analyst Bank Danamon Irman Faiz menjelaskan penguatan rupiah pada hari kemarin didorong oleh apresiasi pelaku pasar setelah mendengar komentar dovish dari Bank Sentral AS (Federal Reserve) dan keputusan suku bunga dipertahankan di level 3,5 persen oleh Bank Indonesia.
Irman juga memperkirakan rupiah bisa kembali menguat bila pada kenaikan yield obligasi AS pada akhirnya dapat membuat kondisi keuangan di AS mengetat. "Sehingga The Fed melakukan intervensi atau BI lebih agresif dalam triple intervention-nya,” ucapnya,
BISNIS
Baca: IHSG Jeblok ke Level 6.322,6, Apa Saja Faktor Pemicunya?