Industri Tekstil Nasional Incar Turki, Gerbang Menembus Pasar Eropa
Reporter
Larissa Huda
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 28 Oktober 2020 05:34 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) berpotensi meningkatkan ekspor ke Turki. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa berujar pasar Turki menjadi salah satu tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia, misalnya saja produsen benang pintal (spun yarn) Indonesia. "Dan ini akan terus menjadi pasar penting untuk pasar produsen spun yarn Indonesia," ujar Jemmy, Selasa 27 Oktober 2020.
Meski begitu, Jemmy mengatakan produsen dalam negeri masih kesulitan masuk pasar Turki lantaran banyaknya hambatan perdagangan yang diterapkan, baik itu lewat atau pun non tarif. Pada 2008, Pemerintah Turki mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk impor semua bentuk synthetic yarns (spun yarn) dengan besaran US$ 0,23-US$0,40 per kilogram. Kebijakan itu telah diperpanjang kembali pada 2015 hingga 2020.
Adapaun tarif umum atau most favoured nations (MFN) tertinggi Turki saat ini adalah 12 persen berlaku untuk golongan barang pakaian dan aksesori pakaian, rajutan, atau kaitan dengan kode harmonized system (HS) 61; serta pakaian dan aksesori pakaian, bukan rajutan atau kaitan dengan kode HS 62. Adapun tarif terendah tarif terendah diterapkan untuk sutera atau HS 50 dan wol bulu hewan halus atau kasur, benang bulu kuda dan kain tenunan (HS 62), yaitu sebesar nol persen.
"Strategi yang dapat dilakukan Indonesia dalam hadapi IT-CEPA (Perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Turki ), menyamakan level playing field Indonesia melalui perbaikan aturan dan iklim industri dalam negeri untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia," ujar Jemmy.
<!--more-->
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan pelaku industri maupun pemerintah harus mampu mengatasi tren pengamanan perdagangan (trade remedis) yang akan terus dijalankan oleh pemerintah Turki. Menurut Redma, tak sedikit trade remedies yang diterapkan sebetulnya mengarah pada produk Cina yang membanjiri Turki. Namun, hal ini turut berdampak pada produk yang sama dari Indonesia.
"Menurut kami, tugas bersama yaitu supaya kita tak terbawa. Pasar Turki tak boleh lepas, apalagi terkena hambatan berupa BMAD karena bisa menurunkan daya saing yang lebih pesat," ujar Redma.
Direktur Sritex Group Abhay Agarwal berharap pemerintah bisa mempercepat penyelesaian perjanjian dagang dengan Turki dan harus dilakukan secara hati-hati untuk memastikan kelancaran ekspor tekstil ke sana. Menurut dia pasar Turki berpotensi karena industri tekstil menjadi kontributor utama ekonomi dan menjadi penyumbang produk domestik bruto (PDB) yang cukup besar.
Selain itu, negara tersebut juga menjadi tetangga sebelah negara-negara Eropa dan Rusia. Selain itu, Turki dapat menghemat biaya pengangkutan laut dan hemat waktu transit dengan peniriman cepat. "Semua faktor itu menambah daya saing Turki. Dengan demikian Turki menjadi pusat maufaktur tekstil terbesar yang menjadi gerbang untuk menembus pasar Eropa," ujar Abhay.
<!--more-->
Menurut dia, potensi pasar Turki bagi Indonesia masih terbuka. Hal ini terlihat dari pertumbuhan produk serat buatan dan benang yang mampu sekitar 3,55 persen selama lima tahun terakhir meskipun telah diberlakukan anti-dumping dan safeguard. Hal ini terjadi karena adanya faktor, misalnya produsen fiber dan spinners Indonesia jadi pemasok terpercaya.
"Selain itu, produk Indonesia memiliki kualitas benang yang konsisten yang mana produksi dalam negeri Turki tidak mampu memenuhi permintaan dari industri mereka," kata dia.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Marthin Kalit berujar Turki merupakan salah satu negara pengguna aktif trade remedies, dan masuk dalam sepuluh besar negara dengan jumlah penyelidikan terbanyak. Setidaknya ada 199 kasus dikenakan BMAD, 17 kasus dikenakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), dan satu kasus dengan anti subsidi.
Pemerintah Turki juga piawai memanfaatkan kebijakan hambatan non tarif (non tariff measures atau NTM) untuk menghalau produk impor, termasuk tekstil. Sektor tekstl paling terdampak akibat instrumen ini karena sejumlah 792 post tarif telah dikenakan NTM, seperti persyaratanserfikasi, persyaratan melewati pelabuhan tertentu, pajak konsumsi, perizinan ekspor, dan lainnya. "Turki merupakan sepuluh besar negara di dunia yang paling sering NTM, yaitu 60,74 persen dari total impor," ujar Marthin.
Meski begitu, Marthin mengatakan pemerintah tengah meningkatkan ekspor produk tekstil ke Turki karena negara tersebut jadi mitra penting bagi industri tekstil dalam negeri untuk bisa masuk rantai pasok global.Untuk mendorong langkah itu, Marthin mengatakan pemerintah telah melakukan sejumlah pendekatan, salah satunya IT-CEPA.
"Pemerintah akan melakukan fokus pembinaan di sisi penawaran dengan menciptakan diferiensi produk testil berdaya saing dan memperkat market intelligence agar tidak langsung bersaing head to head dengan yang diproduksi Turki," ujar Marthin.
Baca: Pastikan Standar Mutu, Kemenperin Bikin SNI untuk Masker Kain
LARISSA HUDA