Budi Waseso: Bulog Gandeng Swasta untuk Bikin Mi Sagu Sebagai Alternatif Beras
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Kodrat Setiawan
Selasa, 20 Oktober 2020 17:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Utama Perusahaan Umum Bulog Budi Waseso mengatakan entitasnya bakal segera mengembangkan produk mi berbahan dasar sagu sebagai pendamping bahan pokok beras. Bulog telah menggandeng perusahaan swasta untuk merealisasikan rencana tersebut.
“Kita kenalkan ini ke seluruh Indonesia karena sagu merupakan salah satu potensi komersial Bulog. Bulog selain memperoleh penugasan, juga memiliki unsur untuk komersialnya,” ujar Budi Waseso alias Buwas dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Selasa, 20 Oktober 2020.
Tanpa menyebut nama perusahaan swasta yang dimaksud, Buwas menyatakan akan segera membangun pabrik di 20 wilayah di Indonesia sebagai lokasi pengolahan sagu. Pabrik-pabrik ini juga akan mengelola bahan pokok lainnya, seperti ubi dan singkong.
Buwas mengatakan Indonesia memiliki potensi komoditas sagu yang besar sebagai bahan pokok lokal untuk mendukung ketahanan pangan. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, potensi lahan sagu saat ini mencapai 5,5 juta hektare.
Sayangnya, kata Buwas, dari total lahan itu, baru sekitar 15 persen di antaranya yang sudah dimanfaatkan. Padahal, seumpama komoditas ini dapat dioptimalkan, hasil produksi sagu bukan hanya bisa mencukupi kebutuhan dasar di dalam negeri, melainkan juga punya potensi untuk diekspor.
“Ini bisa diekspor karena dapat diolah macam-macam, bisa tepung, kue, makanan-makanan jadi, sehingga ini potensi jadi industri pangan,” ujarnya.
<!--more-->
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Momon Rusmono menjelaskan pemerintah sedang berfokus mengembangkan diversifikasi pangan lokal, termasuk sagu. Ia menerangkan, sagu memiliki kandungan karbohidrat hingga 85 persen.
“Sagu cukup menarik karena kalorinya tinggi, karbohidratnya juga tinggi,” tuturnya. Meski mengandung karbohidrat yang tinggi, sagu memiliki kandungan gula yang lebih rendah ketimbang beras sehingga diklaim lebih sehat.
Sayangnya, menurut Momon, Indonesia belum optimal dalam melihat ceruk ini. Ia mengungkapkan adanya pelbagai masalah dalam pengelolaan sagu. Salah satunya ialah sistem pengolahan sagu yang masih sangat tradisional. Walhasil, kualitas sagu yang dihasilkan pun rendah.
Di samping itu, Momon membenarkan bahwa pemanfaatan lahan sagu belum maksimal. Dari 5,5 juta hektare lahan yang tersedia, baru 314 hektare di antaranya yang sudah dioptimalkan oleh petani sagu.
Adapun dari area yang dimanfaatkan itu, produktivitas dari lahan belum terlampau tinggi. Momon menyebut lahan itu hanya menghasilkan 3,57 ton sagu per hektare. Padahal menurut dia, jumlah produksi sagu bisa ditambah menjadi 10 ton per hektare.
Momon berharap sejumlah pihak, termasuk lembaga peneliti, dapat bersama-sama mengupayakan peningkatan produktivitas sagu. “Pendekatan-pendekatan untuk meningkatkan kualitas melalui fasilitasi sarana dan prasarana pengolahan sagu perlu ada bimbingan teknis. Selain itu, yang penting diversifikasi pangan sagu tidak hanya bentuk papeda, tapi produk lain,” ucapnya.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Baca juga: Budi Waseso: Bulog Salurkan 450 Ribu Ton Beras untuk Bansos, Agustus-Oktober