RUU Cipta Kerja Dinilai Gak Nyambung dengan Masalah Utama Investasi
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Minggu, 4 Oktober 2020 13:10 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan M. Teguh Surya mengatakan poin-poin yang ditetapkan dalam Rancangan Undang-undang Cipta Kerja atau RUU Cipta Kerja tidak menyentuh akar masalah investasi. Ia mengatakan, dari sisi lahan, masalah utama yang dihadapi negara atas hambatan investasi adalah silang-sengkarut izin.
“Memaksakan RUU Cipta Kerja berarti kita dipaksa bunuh diri massal di 2045. Karena yang dibahas enggak nyambung dengan masalah utama. Kebutuhan investasi saat ini adalah menyelesaikan sengkarut,” ujar Teguh dalam diskusi virtual, Ahad, 4 Oktober 2020.
Yayasan Madani mencatat, saat ini terdapat 75,6 persen area atau setara dengan 143 juta hektare dari total luas daratan Indonesia yang merupakan area silang sengkarut izin. Berdasarkan sebaran area silang sengkarut izin sawit, misalnya. Wilayah yang meliputi 22,7 juta hektare lahan itu sekitar 4,4 juta di antaranya berada di area konsesi migas daratan.
Kemudian 1,12 juta hektare di antaranya berada di wilayah adat. Selanjutnya, 1,1 juta hektare berada di konsesi Minerba. Adapun 1,2 juta hektare berada di area Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru atau PIPPIB; dan 579 ribu hektarea berada di area Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial revisi keempat.
Selain itu, izin lahan sawit juga bersinggungan dengan izin lainnya. Salah satunya dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam IUPHHK HA. Berdasarkan tipe usahanya, total silang sengkarut Izin sawit dengan IUPHHK HA mencapai 395.074 hektare.
<!--more-->
Tumpang tindih lahan sawit juga terjadi dengan areal lahan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi atau IUPHHK HTI. Total tumpang-tindih izin ini mencapai 746.537 hektare.
Menurut Teguh, bila ingin mendorong masuknya modal, pemerintah harus lebih dulu membenahi persoalan tumpang tindih izin lahan. Sedangkan dalam RUU Cipta Kerja, poin-poin yang dibahas malah terlalu lebar dan akan berpotensi memunculkan peraturan-peraturan turunan yang bisa menimbulkan masalah tumpang-tindih izin lainnya.
“Kebutuhan investasi saat ini menyelesaikan sengkarut izin lahan sehingga calon investir yang masuk punya kepastian usaha,” ucapnya.
Tak hanya masalah tumpang-tindih lahan, minat investor untuk menanam modal Indonesia dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Menyitir data World Economic Forum dalam Global Competitiveness Report 2017-2018, penghambat utama investasi di Indonesia adalah korupsi.
Karena itu, sebagai upaya memecahkan masalah, pemerintah didesak harus mencegah dan memberantas munculnya tindakan-tindakan rasuah. “Pemecahan yang harus dilakukan adalah pemberantasan korupsi sehingga, investor yakin korupsi bisa dicegah dan ditangani utuh,” ucapnya.
<!--more-->
Kemudian, hambatan lain ialah inefisiensi birokrasi dan akses pembiayaan. Selanjutnya, masalah infrastruktur yang tidak memadai, instabilitas kebijakan, instaboilitas pemerintah, tarif pajak, dan etos kerja yang buruk.
Meski demikian, berdasarkan data The Economist dalam Business Outlook Survey 2019, Indonesia berada di peringkat ketiga untuk negara tujuan investasi yang paling diminati. “Jadi opini bahwa kita harus mengesahkan RUU Cipta Kerja agar membuka investasi ini berdasarkan data yang ada agak kurang tepat. Ini sesat pikir,” ucap Teguh.
Teguh mengatakan DPR dan pemerintah masih memiliki waktu untuk memikirkan ulang pembahasan RUU Cipta Kerja sebelum disahkan pada 8 Oktober 2020. Pemerintah dan legislator, kata dia, juga harus melihat rekomendasi dari negara-negara penanam modal.
“Bagaimana opini terhadap Indonesia karena terkesan RUU Cipts Kerja dipaksakan lahir prematur,” katanya.
Baca juga: Pengusaha Ingatkan Buruh Kena Sanksi Mangkir karena Demo Tolak RUU Cipta Kerja
FRANCISCA CHRISTY ROSANA