Kelas Rawat Inap BPJS Kesehatan Akan Dihapus, Berapa Besar Iurannya?
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Senin, 21 September 2020 15:06 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni angkat bicara menanggapi soal besaran iuran ketika BPJS Kesehatan menghapus kelas rawat inap dan menggantinya dengan menerapkan kelas standar pada tahun 2022.
Choesni menjelaskan, kelas standar itu akan dilakukan secara bertahap. Pertama, pada 2021 akan terdapat pilot study atau penerapan sebagian, dilanjutkan dengan penerapan lebih besar pada 2022.
Dengan tidak adanya kelas kepesertaan di BPJS Kesehatan, menurut Tubagus, sejumlah aspek akan terpengaruh. Beberapa aspek itu mulai dari besaran iuran yang dibayarkan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hingga beban biaya pelayanan kesehatannya. "Ada perhitungan terhadap supply side dan aktuarial," ujar Choesni pekan lalu.
Lebih jauh, Choesni menyebutkan premi belum bisa dihitung saat ini karena DJSN harus melihat bagaimana dampak penerapan kelas standar terhadap supply side. "Perhitungan aktuaria akan kami lakukan, tapi kami masih dalam tahap pengajian karena ada konsultasi publik," katanya.
Salah satu perhitungan premi itu pun, menurut Choesni, bukan hanya berlaku bagi peserta mandiri yang saat ini terbagi ke dalam tiga kelas. DJSN pun harus menetapkan besaran iuran bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan segmen lain karena akan berkaitan dengan besaran penerimaan iuran BPJS Kesehatan.
Untuk perhitungan PBI, kata Choesni, perhitungan supply side harus berkolaborasi dengan pemangku kebijakan lainnya seperti Kementerian Sosial. "Karena harus mendapatkan dan mengacu kepada data yang pasti."
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Oscar Primadi menjelaskan bahwa penerapan kelas standar BPJS Kesehatan mengacu kepada Undang-Undang 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Aturan itu pun mengamanatkan adanya menfaat perlindungan bagi peserta yang berbasis kebutuhan dasar kesehatan (KDK). Menurut Oscar, BPJS Kesehatan belum dapat menerapkan kelas standar itu saat terbentuk pada 2014 karena berbagai keterbatasan.
"Penerapan bertahap untuk paket manfaat JKN berbasis KDK dan rawat inap kelas standar, ini di timeline akan mulai diterapkan tahun depan," ujar Oscar.
<!--more-->
Saat ini peserta BPJS Kesehatan segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri membayarkan iuran dengan besaran sebagai berikut:
Kelas I: Rp 150.000
Kelas II: Rp 100.000
Kelas III: Rp 42.000
Adapun peserta mandiri kelas III memperoleh subsidi dari pemerintah senilai Rp 16.500, sehingga iuran yang dibayarkan oleh setiap peserta menjadi Rp 25.500. Sementara peserta PBI dikenakan iuran Rp 42.000 seperti halnya besaran iuran peserta Kelas III.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris memperkirakan defisit lembaga yang dipimpinnya akan hilang pada akhir tahun 2020. Bahkan, BPJS Kesehatan diproyeksikan bakal mencatat surplus arus kas Rp 2,56 triliun.
Fachmi menjelaskan hal tersebut di dalam rapat kerja dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR yang digelar pada hari ini. Rapat tersebut juga dihadiri oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, dan Kementerian Kesehatan.
Lebih jauh Fachmi memaparkan , BPJS Kesehatan telah membuat proyeksi defisit berdasarkan tiga periode pemberlakuan besaran iuran. Pertama, pada periode Januari-Maret 2020, iuran yang dibayarkan sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Periode kedua yakni pada April–Juni 2020, saat iuran dibayarkan berdasarkan Perpres 82/2018, yakni saat iuran BPJS Kesehatan sempat turun. Terakhir pada periode ketiga sepanjang Juli–Desember 2020, iuran kembali naik dan dibayarkan berdasarkan Perpres 64/2020.
"Kami memproyeksikan berdasarkan baseline data Juli 2020, surplus arus kas BPJS Kesehatan (pada akhir 2020) itu Rp 2,56 triliun," ujar Fachmi, Kamis, 17 September 2020. "Itu telah memperhitungkan dampak pandemi Covid-19, perkiraan bayi yang baru lahir, dan faktor lainnya."
BISNIS
Baca: Tak Lagi Defisit, BPJS Kesehatan Diyakini Bakal Catat Surplus Rp 2,56 Triliun