Namun karena banyak hari libur maka ditargetkan selesai bulan November. "Sulit, lagi banyak liburan, kepentok lebaran," kata Deputi Kepala BPKP Bidang Perekonomian Binsar Hamonangan Simanjuntak, di gedung parlemen, Senin (21/9).
Terlebih, audit butuh waktu mengingat audit untuk masa penunggakan dari tahun 1983 hingga 2001. Binsar mengaku optimistis, para kontraktor bersedia membayar jika hak dan kewajibannya sudah jelas. "Ada iktikad baik," katanya.
Sampai saat ini, pelunasan belum dilakukan karena hitungan terkait tunggakan royalti itu belum jelas. Keenam perusahaan penunggak itu adalah PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Berau Coal, PT Adaro Indonesia, dan PT BHP Kendilo Coal. Total tunggakan royalti sejak 1983 hingga 2001 mencapai sekitar Rp 7 triliun.
Iktikad baik yang dicatat pemerintah adalah kesepakatan membayar uang jaminan tunggakan Rp 600 miliar pada pertemuan perusahaan dan perwakilan pemerintah, 17 September lalu. Atas itikad itu, perwakilan pemerintah merekomendasikan Menteri Keuangan agar mencabut cekal direksi dan komisaris perusahaan penunggak royalti.
Rekomendasi pencabutan cekal itu ditentang berbagai pihak baik dari parlemen atau pengamat hukum (Koran Tempo, Senin 21/9). Namun, BPKP sepertinya bergeming dengan rekomendasi pencabutan cekal. "Itu diskresi Menteri Keuangan, serahkan saja," kata Binsar. Menurutnya, rekomendasi itu tidak berasal dari pemerintah, tetapi permintaan pengusaha.
Harun Mahbub