Rupiah Jeblok Hingga 15 Ribuan per Dolar AS, Apa Sebabnya?

Selasa, 17 Maret 2020 11:30 WIB

Warga menjual mata uang dolar di money changer kawasan Kwitang. Nilai tukar dolar Amerika Serikat, mencapai level Rp14.060 per Dolar AS. Jakarta, 25 Agustus 2015. TEMPO/Subekti

TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah terus melemah dan menembus level Rp 15.000 per dolar AS pada perdagangan Selasa pagi hari ini seiring dengan aksi jual mata uang negara berkembang akibat penyebaran virus Corona.

Mengutip data Bloomberg, pada perdagangan Selasa, 17 Maret 2020 pukul 10.11 WIB, mata uang rupiah melemah 0,55 persen atau 82,5 poin menjadi Rp 15.015 per dolar AS. Pelemahan rupiah menjadi ketiga yang terbesar di antara mata uang Asia lainnya.

Di peringkat pertama, won Korea Selatan turun 1,31 persen menjadi 1.241,91, selanjutnya peso Filipina menurun 0,69 persen.

Sementara itu indeks dolar AS merosot 0,06 persen atau 0,06 poin menjadi 98,01. Sebelumnya pada penutupan kemarin, indeks yang mengukur pergerakan dolar terhadap sejumlah mata uang utama lainnya itu berada di level 98,07.

Analis Bloomberg menyampaikan mata uang pasar berkembang menghadapi aksi jual lebih lanjut hingga 30 persen karena penyebaran wabah corona menyebabkan saham AS turun sebanyak yang terjadi pada masa dalam krisis keuangan global.

Advertising
Advertising

Mata uang dari negara-negara dengan defisit neraca berjalan dan pasar keuangan yang relatif tidak likuid menjadi yang paling rentan terhadap kekuatan dolar. Ini termasuk sejumlah negara di Amerika Latin, bersama dengan Afrika Selatan, Indonesia, dan India.

Sebaliknya, mata uang dari negara-negara dengan surplus besar akan mengungguli, yaitu Thailand dan Taiwan. Namun, hal itu terkecuali untuk rubel Rusia.

Meskipun Rusia memiliki surplus neraca berjalan, mata uangnya akan menghadapi kerugian besar karena fakta bahwa kemerosotan dalam ekonomi global biasanya mengarah pada penurunan harga minyak.

Sebetulnya, neraca perdagangan Indonesia Februari 2020 mencatat surplus US$ 2,34 miliar. Angka ini membaik dibandingkan dengan capaian bulan sebelumnya yang mencatat defisit US$ 640 juta.

Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko mengungkapkan bank sentral memandang surplus neraca perdagangan pada Februari 2020 berkontribusi positif dalam memperkuat ketahanan eksternal perekonomian Indonesia.

Neraca perdagangan nonmigas Februari 2020 tercatat surplus sebesar US$ 3,27 miliar, meningkat dibandingkan dengan surplus pada bulan sebelumnya sebesar US$ 530 juta. Perkembangan tersebut ditopang oleh kinerja positif ekspor nonmigas beberapa komoditas antara lain batu bara, CPO, dan beberapa produk manufaktur.

"Peningkatan surplus neraca perdagangan juga dipengaruhi impor nonmigas yang menurun, terutama untuk komoditas golongan mesin dan perlengkapan elektrik, antara lain sebagai dampak terganggunya gangguan rantai suplai global akibat Covid-19," ujar Onny.

Sementara itu, defisit neraca perdagangan migas pada Februari 2020 membaik menjadi sebesar US$ 930 juta, dari defisit US$ 1,17 miliar pada bulan sebelumnya. Penurunan defisit neraca perdagangan tersebut didukung berlanjutnya penurunan impor migas, terutama dalam bentuk hasil minyak dan gas, di tengah stabilnya ekspor migas ditopang oleh kinerja positif ekspor minyak mentah.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede sebelumnya menilai tindakan The Fed yang agresif memberikan sinyal kurang positif bagi pasar keuangan negara berkembang. Walhasil, investor memilih masuk ke aset safe haven kembali, tercermin dari pasar Asia yang sebagian besar juga terkoreksi.

Pada Senin kemarin, Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) secara mendadak kembali memangkas suku bunga acuannya sebesar 100 bps menjadi 0,25 persen. Pada awal Maret lalu Bank Sentral AS itu memotong suku bunganya sebesar 50bps menjadi 1,25 persen. Secara year to date total suku bunga acuan The Fed telah berkurang 1,5 persen.

Langkah The Fed dianggap pelaku pasar mengganggu perekonomian atau lebih parah dari yang diproyeksikan sebelumnya. Langkah The Fed memberikan efek domino yang membuat bank sentral lain turut memangkas suku bunga mereka dan merilis sejumlah kebijakan moneter.

“Sinyalnya jadi negatif. Ada apa kok sampai Bank Sentral AS (The Fed) sendiri sudah menurunkan 1,5 persen? Padahal sebelumnya assessment mereka masih cukup positif bahwa ekonomi AS masih kuat,” tutur Josua.

BISNIS

Berita terkait

LPEM FEB UI Komentari Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tertinggi Sejak 2015

1 jam lalu

LPEM FEB UI Komentari Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tertinggi Sejak 2015

LPEM FEB UI memaparkan secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi masih cenderung stagnan.

Baca Selengkapnya

Rupiah Ditutup Melemah 20 Poin Jadi Rp 16.046 per Dolar AS

10 jam lalu

Rupiah Ditutup Melemah 20 Poin Jadi Rp 16.046 per Dolar AS

Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (dolar AS) yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa melemah 20 poin.

Baca Selengkapnya

Rupiah Menguat ke Level Rp 16.025 per Dolar AS

1 hari lalu

Rupiah Menguat ke Level Rp 16.025 per Dolar AS

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat dalam penutupan perdagangan hari ini ke level Rp 16.025 per dolar AS.

Baca Selengkapnya

Wamenkeu Suahasil Nazara Soroti 3 Faktor Penting dalam Ekonomi RI, Suku Bunga hingga Kurs Rupiah

1 hari lalu

Wamenkeu Suahasil Nazara Soroti 3 Faktor Penting dalam Ekonomi RI, Suku Bunga hingga Kurs Rupiah

Wamenkeu Suahasil Nazara menyoroti tiga faktor yang menjadi perhatian dalam perekonomian Indonesia saat ini. Mulai dari suku bunga yang tinggi, harga komoditas, hingga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Baca Selengkapnya

LPEM UI: Proyeksi Ekonomi RI Tumbuh 5,15 Persen di Kuartal I 2024

3 hari lalu

LPEM UI: Proyeksi Ekonomi RI Tumbuh 5,15 Persen di Kuartal I 2024

Perayaan bulan suci Ramadan dan hari raya Idul Fitri juga dapat memacu pertumbuhan ekonomi domestik lebih lanjut.

Baca Selengkapnya

Rupiah Menguat di Akhir Pekan, Sentuh Level Rp 16.083 per Dolar AS

3 hari lalu

Rupiah Menguat di Akhir Pekan, Sentuh Level Rp 16.083 per Dolar AS

Nilai tukar rupiah ditutup menguat Rp 16.083 terhadap dolar AS pada perdagangan Jumat, 3 Mei.

Baca Selengkapnya

Tak Hanya Naikkan BI Rate, BI Rilis 5 Kebijakan Moneter Ini untuk Jaga Stabilitas Rupiah

4 hari lalu

Tak Hanya Naikkan BI Rate, BI Rilis 5 Kebijakan Moneter Ini untuk Jaga Stabilitas Rupiah

Gubernur BI Perry Warjiyo membeberkan lima aksi BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.

Baca Selengkapnya

Bos BI Yakin Rupiah Terus Menguat hingga Rp 15.800 per Dolar AS, Ini 4 Alasannya

4 hari lalu

Bos BI Yakin Rupiah Terus Menguat hingga Rp 15.800 per Dolar AS, Ini 4 Alasannya

Gubernur BI Perry Warjiyo yakin nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan menguat sampai akhir tahun ke level Rp 15.800 per dolar AS.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani: Meski Kurs Rupiah Melemah, Masih Lebih Baik dibanding Baht dan Ringgit

4 hari lalu

Sri Mulyani: Meski Kurs Rupiah Melemah, Masih Lebih Baik dibanding Baht dan Ringgit

Menkeu Sri Mulyani mengatakan, nilai tukar rupiah pada triwulan I 2024 mengalami depresiasi 2,89 persen ytd sampai 28 Maret 2024.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani Sebut Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Stagnan di 3,2 Persen, Bagaimana Dampaknya ke RI?

4 hari lalu

Sri Mulyani Sebut Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Stagnan di 3,2 Persen, Bagaimana Dampaknya ke RI?

Sri Mulyani menyebut perkiraan pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini bakal relatif stagnan dengan berbagai risiko dan tantangan yang berkembang.

Baca Selengkapnya