Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi memberikan keterangan soal pengungkapan impor ballpoint merek Standard palsu di PT Terminal Petikemas Surabaya, Kamis, 9 Januari 2020.
Tempo.Co, Surabaya - Aparat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengungkap impor pulpen merek Standard palsu dari Cina. Impor alat tulis tiruan yang dilakukan oleh PT PAM itu berhasil dibongkar Bea Cukai di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya pada Senin, 6 Desember 2019.
Menurut Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi, pulpen palsu itu disita dari sebuah kontainer yang berisi 858.240 buah pulpen bertuliskan merek Standard AE7 Alfa Tip 0.5 Made in Indonesia dengan perkiraan nilai barang sekitar Rp 1.019.160.000.
Meski jumlahnya relatif kecil, kata Heru, pengungkapan kasus pemalsuan merek itu yang pertama dilakukan setelah Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 06 Tahun 2019 berlaku. Peraturan itu membuat sinergi antar-lembaga penegak hukum makin cepat dan efisien.
“Dengan disahkannya Perma 06, sistem otomasi kepabeanan barang-barang HKI yang menjadikan kegiatan pengawasan HKI lebih optimal, karena Bea Cukai, MA, Ditjen Kekayaan Intelektual dan Pengadilan Niaga terintegrasi,” kata Heru dalam konferensi pers di PT Terminak Petikemas Surabaya, Kamis, 9 Januari 2020.
Sinergitas itu dibuktikan saat Heru menunda sesi jumpa wartawan karena menanti putusan sidang kasus tersebut yang sedang berlangsung di Pengadilan Niaga Surabaya. Sidang sempat diselingi dengan peninjauan barang bukti di lapangan oleh hakim. Setelah persidangan dibuka lagi, hakim memutuskan menangguhkan perkara itu.
“Artinya sudah terbukti bahwa ada pemalsuan merek ballpoint, sekarang tinggal tergantung pada pemohon apakah melanjutkan kasus itu ke ranah pidana ataukah perdata,” kata Ketua Pengadilan Niaga Surabaya Nur Syam.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Daniel Tahi Monang Silitonga berujar PT Standardpen Industries telah melaporkan pemalsuan produk itu sejak akhir 2019. Laporan segera ditindaklanjuti dengan melakukan penyitaan ballpoint merek Standard yang diduga palsu. “Ada sekitar 12.196.000 pak yang kami sita dari wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur,” katanya.
Direktur Utama sekaligus CEO PT Standardpen Industries Meguastian Susanto menuturkan jaringan pemalsuan merek itu sangat rapi sehingga tak mudah terdeteksi. Sebab, ada kerja sama antara penjual dengan pemasok barang. Dia mengatakan pertama kali mengetahui produknya dipalsu sejak 2005.
Susanto mengaku mengalami kerugian besar atas tidak pemalsuan itu. “Value di pabrik sekitar Rp 3 miliar, kalau di retail mungkin sampai Rp 6 miliar. Tapi selama 15 tahun terakhir dipalsukan, kerugian kami di atas Rp 1 triliun,” kata Susanto.