Industri Asuransi Jiwa Berminat Investasi Proyek Infrastruktur
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 4 Desember 2019 07:36 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Industri asuransi jiwa berminat untuk memperluas investasi aset kelolaannya pada proyek-proyek infrastruktur. Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Budi Tampubolon peluang tersebut terbuka, terlebih total aset yang berhasil dikumpulkan industri hingga akhir tahun lalu saja telah mencapai Rp 550 triliun, dengan total dana yang diinvestasikan mencapai lebih dari Rp 460 triliun.
“Kami punya uang yang dapat dikelola untuk turut membangun infrastruktur, ini bisa menjadi sumber pendanaan untuk berkontribusi di berbagai proyek yang ada,” ujar dia, di Jakarta, Selasa 3 Desember 2019.
Budi berujar dana investasi itu masih berpotensi terus meningkat, mengingat tingkat penetrasi asuransi Indonesia yang masih rendah. “Sekarang tinggal bagaimana agar uang yang ada itu semakin besar, sehingga yang bisa dialokasikan pada pembangunan infrastruktur juga bisa semakin banyak, penetrasi asuransi jiwa masih harus diperdalam,” ucapnya.
Tak cukup sampai di situ, asosiasi pun mengusulkan pemberian insentif dari sisi perpajakan agar semakin meningkatkan minat masyarakat untuk berasuransi. Budi menjelaskan insentif itu misalnya dapat berupa pengurangan pajak penghasilan atas sebagian premi yang dibayarkan pemegang polis.
“Kami berharap dengan ini nasabah dapat tergugah semakin meningkatkan preminya, jadi kalau sekarang rata-rata setahun beli produk yang preminya Rp 5 juta bisa naik jadi Rp 6-7 juta.” Dengan demikian, perolehan aset dan dana investasi juga dapat meningkat. “Dana yang bisa lari ke pembangunan infrastruktur bisa naik,” kata dia.
Budi melanjutkan insentif berikutnya juga diusulkan dapat diberikan pemerintah kepada perusahaan asuransi yang berpartisipasi pada investasi proyek infrastruktur. “Kalau boleh kupon-kupon investasi dari infrastruktur ini dibebaskan dari pajak,” katanya.
Di satu sisi untuk semakin menarik minat penempatan investasi di proyek infrastruktur, pemerintah juga diminta untuk mengakomodasi ketersediaan instrumen investasi alternatif yang dapat memenuhi preferensi penempatan aset.
“Selama ini kami tempatkan di saham lalu obligasi, dan jangka waktunya juga tidak begitu panjang rata-rata yang dipegang industri itu 7-8 tahun, padahal kontrak asuransi jiwa itu kan ada yang seumur hidup jadi 20-40 tahun,” ujar Budi. “Jadi kalau ada yang menawarkan jangka waktu lebih panjang, yield menarik, kami optimistis akan banyak perusahaan asuransi jiwa yang tertarik investasi di situ.”
Chief Investment Officer Prudential, Novi Imelda membenarkan jika minimnya instrumen investasi jangka panjang yang tersedia menjadi pertimbangan perusahaan asuransi dalam menempatkan dananya. “Kami kesulitan memiliki instrument jangka panjang untuk penempatan produk tradisional, karena produknya yang jangka panjang maka harus match, kami butuh instrument 30-40 tahun untuk backup liabilities,” kata dia.
<!--more-->
Selain itu, dukungan regulasi juga dibutuhkan untuk semakin meningkatkan peluang investasi jangka panjang di bidang infrastruktur. Sekretaris Jenderal ASEAN Insurance Council yang juga Chairman WanaArtha Life, Evelina Pietruschka menambahkan agar upaya tersebut berjalan efektif, edukasi dan peningkatan literasi keuangan untuk masyarakat juga perlu digencarkan.
“Ini bisa jadi iming-iming yang menarik, kalau mereka membeli produk simpanan jangka panjang bisa dapat pengurangan pajak.”
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko Kementerian Keuangan, Luky Alfirman mengatakan ihwal usulan insentif yang disampaikan industri asuransi jiwa, pemerintah akan mengkajinya terlebih dahulu. “Kami belum bisa putuskan, saat ini belum ada spesifik harus seperti apa,” ucapnya. “Kami harus mempertimbangkan dua arah karena sebenarnya kan mereka yang punya dana, jadi preferensi mereka ingin memberikan investasi ke mana sesuai risk appetite mereka.”