Proyek Energi Baru dan Terbarukan Terganjal Pendanaan
Reporter
Vindry Florentin
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Jumat, 18 Oktober 2019 15:55 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Penggunaan energi baru dan terbarukan di Indonesia masih terhambat pembiayaan. Target penambahan kapasitas pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 16,7 gigawatt pada 2028 dinilai sulit direalisasikan.
Direktur Aneka Energi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi Harris mengungkapkan teknologi untuk membangun pembangkit EBT kebanyakan masih harus diimpor. Selain itu, tak mudah mendapat sokongan dana dari perbankan dengan bunga rendah. "Ini menyebabkan biaya produksi mahal," ujarnya saat dihubungi Tempo, Kamis 17 Oktober 2019.
Biaya besar lain yang harus ditanggung adalah ongkos pemasangan alat. Di sejumlah wilayah dengan potensi EBT, khususnya di timur Indonesia, mobilisasi alat masih terbatas. Beberapa lokasi misalnya memerlukan bantuan helikopter sehingga menambah beban produksi.
Selain itu, sejumlah pembangkit seperti pembangkit tenaga surya bersifat intermittent atau hanya dapat diperoleh di waktu tertentu. Artinya, perlu ada cadangan untuk memastikan aliran energi tak terputus. Kondisi membutuhkan tambahan investasi. Aspek ketersediaan lahan juga jadi salah satu faktor hambatan.
Dengan tingginya biaya produksi, harga jual listrik EBT sulit bersaing dengan listrik dari batubara. Saat ini harga listrik EBT di Indonesia berkisar US$ 10-11 sen per kilowatt-jam (kWh). Menilik negara seperti India dan Portugal, harga listriknya sudah bisa ditekan hingga US$ 3 sen dan US$ 2 sen per kWh. Harris berharap dengan beroperasinya PLTS Terapung Cirata dengan kapasitas 145 MW pada 2021 mendatang, harga listrik bisa ditekan hingga di bawah US$ 7 sen per kWh.
Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Jannata Giwangkara mengatakan regulasi yang sering berubah juga menghambat EBT. "Misalnya, dalam tujuh bulan pernah ada tiga kali perubahan aturan mengenai harga beli listrik sehingga investor gamang," katanya.
Dengan rendahnya minat investor, Egi -- sapaan Giwangkara -- mengatakan sulit memenuhi target penambahan kapasitas pembangkit EBT. Selama 2014-2018, kapasitas terpasang hanya bertambah 1,15 GW. Sementara dengan target penambahan 16 GW hingga 2025, pemerintah perlu memastikan ada 3,2 GW kapasitas terpasang per tahun. Pada 2025 nanti pemerintah menargetkan 23 persen bauran energi baru terbarukan namun saat ini porsi EBT baru sekitar 11 persen.
<!--more--><!--more-->
Egi mengatakan pemerintah perlu bergegas memprioritas EBT. Tren energi global saat ini mulai bergeser dari batubara ke EBT. Harga listrik EBT akan semakin bersaing dengan listrik batubara seiring maraknya teknologi bermunculan. Jika pemerintah terus berfokus membangun pembangkit dari batubara, dia memperkirakan adanya aset pembangkit yang akan terbengkalai di masa depan lantaran harga listrik yang bersaing.
Analis Institute for Energy Economics and Financial Analysis Elrika Hamdi juga menyoroti syarat penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri untuk pembangkit listrik EBT. Untuk PLTS misalnya, TKDN dipatok 60 persen. Dia menilai pemerintah perlu mempertimbangkan kemampuan industri lokal. "Apakah industri bisa memproduksi dengan harga terjangkau dan kualitas yang baik?" kata dia. Elrika juga mencatat pemerintah perlu membuat aturan yang adil antara EBT dan listrik dari batubara mengenai Biaya Pokok Penyediaan (BPP).
British Petroleum pun mencatat pengembangan EBT di Indonesia lambat. Group Chief Economist dari British Petroleum Spencer Dale menyatakan peningkatan pembangkit listrik tenaga angin dan surya masih diabaikan di Indonesia. Namun produksi biomassa dan panas bumi alami peningkatan sebanyak 8,9 persen atau mencapai 3 Mtoe pada 2018. "Energi terbarukan menyumbang 5,5 persen dari total pembangkit pada 2018, atau meningkat tipis dari 5,3 persen dari tauun sebelumnya," kata dia.