Kementerian PPPA Minta PT KAI Seret Pelaku Pelecehan ke Penegak Hukum
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Martha Warta Silaban
Kamis, 10 Oktober 2019 09:17 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau PPPA, Vennetia Ryckerens Danes mengatakan pelecehan seksual merupakan bentuk pelanggaran. Sehingga, Vennetia meminta PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI tidak hanya menurunkan pelaku di stasiun pemberhentian berikutnya, lalu melepaskan begitu saja.
“Seyogyanya si pelaku diserahkan ke aparat penegak hukum untuk diproses,” kata dia saat dihubungi di Jakarta, Rabu, 9 Oktober 2019.
Menurut dia, upaya tersebut tetap berlaku sekalipun ada perjanjian bahwa pelaku tidak akan mengulangi perbuatan untuk kedua kalinya. Sebab, tindakan pelaku sudah merugikan korban. “Supaya ada punishment atau ganjaran,” kata Vennetia.
Permintaan ini disampaikan Vennetia menanggapi Standard Operation Procedure atau SOP penanganan tindak pelecehan seksual yang baru saja diterbitkan KAI. Selasa, 8 Oktober 2019, KAI menyampaikan kepada Tempo ihwal SOP pelecehan seksual yang telah ditetapkan sejak 20 Juni 2019.
“Mengatur soal penumpang melakukan perbuatan asusila, berperilaku yang dapat membahayakan keselamatan, dan/atau mengganggu penumpang lain di atas kereta api,” kata VP Public Relations KAI Edy Kuswoyo. Namun dalam SOP ini, pelaku memang hanya akan dihukum sebatas diturunkan di stasiun berikutnya, tidak ada klausul “diteruskan ke aparat penegak hukum.”
SOP ini pun terbit setelah kejadian pelecehan seksual beberapa bulan lalu. Pelecehan dialami seorang wanita dalam KA Sembrani rute Jakarta Gambir - Surabaya Pasar Turi pada Selasa 23 April 2019, pukul 02.00 WIB, sekitar 30 menit setelah kereta melewati Stasiun Tawang, Semarang. Kasus selesai secara kekeluargaan saja.
Saat ini, Vennetia mengatakan proses pencegahan tindak pelecehan seksual di transportasi publik memang baru sebatas sosialisasi. Namun ke depan, Ia berjanji akan menggandeng PT KAI untuk menciptakan lingkungan yang ramah terhadap perempuan, hingga anak-anak. “Yang bebas kekerasan,” kata dia.
Permintaan yang sama juga disampaikan Asisten Deputi Pemenuhan Hak dan Perlindungan Perempuan, Kemenko PMK, Ross Diana Iskandar.“Sepertinya kurang gereget pada sanksinya,” kata dia saat dihubungi di Jakarta, Selasa, 8 Oktober 2019.
Seharusnya, kata Diana, PT KAI bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memproses hukum pelaku agar ada efek jera. Sebab, tindakan pelecehan seksual ini harus dihukum sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP. “Baiknya, KAI mengawal proses hukumnya berjalan dengan lebih berpihak pada korban,” kata dia.