Apa Dampak Ledakan Kilang Minyak Aramco ke Ekonomi Indonesia?
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 18 September 2019 06:05 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Neraca perdagangan sektor minyak dan gas (migas) berpotensi kian terbebani pasca serangan drone yang meledakkan kilang minyak Saudi Aramco, akhir pekan lalu. Pasalnya, ledakan itu disebut telah memangkas setengah dari total produksi minyak di Arab Saudi, yang mana merupakan pemasok minyak mentah sejumlah negara, tak terkecuali Indonesia.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menuturkan peristiwa itu akan mengganggu suplai minyak global, dan jika kerusakan akibat ledakan itu tak dapat segera diatasi, maka akan berdampak pada pasokan minyak yang berkurang. Alhasil, lonjakan harga minyak dunia pun tak dapat dihindari.
“Kenaikan harga minyak akan berdampak negatif terhadap neraca perdagangan kita, karena kita sudah menjadi net importir, sehingga beban impor lebih besar,” kata dia kepada Tempo, Selasa 17 September 2019.
Adapun dalam hitungan hari pasca ledakan, harga minyak dunia tercatat telah melonjak signifikan yaitu hampir 15 persen pada perdagangan kemarin. Minyak mentah Brent yang menjadi patokan internasional, naik 14,6 persen menjadi US$ 69,02 per barel, sedangkan minyak mentah berjangka yang menjadi patokan Amerika Serikat (AS), West Texas Intermediate (WTI) naik 14,7 persen menjadi US$ 62,90 per barel.
Piter mengatakan meski posisi neraca gas Indonesia masih surplus, kondisi ini tak sepenuhnya dapat menolong neraca migas secara keseluruhan. “Karena untuk gas kebanyakan kontrak penjualannya bersifat tetap, sehingga kalau harga gas ikut naik tidak langsung bisa dinikmati dan meningkatkan surplus gas, jadi kenaikan harga minyak tetap cenderung merugikan kita,” ujarnya.
Menurut Piter, defisit neraca migas pun berpotensi melebar di akhir tahun ini. Hingga Agustus 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca migas Indonesia telah mencapai US$ 5,68 miliar. “Pemerintah harus mempercepat perluasan kebijakan B20 dan B30, serta meningkatkan efisiensi nasional, khususnya di transportasi, agar konsumsi BBM bisa ditekan.”
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara berujar pelebaran defisit migas memiliki efek domino, tak terkecuali kepada defisit neraca transaksi berjalan (CAD). “Konsekuensinya CAD bisa menembus 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB),” ucapnya.
Bhima melanjutkan sektor riil juga berisiko terpukul dengan kenaikan harga minyak yang terjadi, dan berisiko meningkatkan ongkos produksi dan logistiknya. “Kondisinya menjadi serba susah, produsen akan menaikkan harga jual, daya beli menurun,” kata dia.
<!--more-->
Dia menuturkan dalam jangka panjang pemerintah harus segera meningkatkan produksi dan lifting minyak, dengan mempercepat akuisisi blok-blok potensial baik di dalam maupun luar negeri. Sedangkan, untuk jangka menengah, pemerintah dapat mempertajam insentif fiskal dan non fiskal untuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) agar meningkatkan eksplorasi dan produksi minyaknya.
“Skema gross split harus dievaluasi karena kurang menarik bagi investor, dan terakhir mendorong enhanced oil recovery (EOR) untuk mengoptimalkan kemampuan lifting sumur-sumur lama,” ucap Bhima.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah turut memantau perkembangan fluktuasi harga minyak dunia beberapa hari terakhir. “Kami akan melihat seberapa cepat kemampuan mereka untuk recovery, apa kebutuhannya bisa disuplai dengan cadangan minyak mereka,” kata dia.
Hal itu perlu dipastikan, mengingat gangguan terhadap kilang minyak Aramco tersebut telah membuat dunia kehilangan pasokan sebanyak 5,7 juta barel per hari atau setara dengan 5 persen produksi minyak dunia. Sri Mulyani juga mengatakan akan terus memonitor perkembangan neraca perdagangan secara keseluruhan akibat kenaikan harga minyak mentah secara signifikan.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menuturkan lembaganya memperhitungkan potensi timbulnya deviasi dari perkiraan neraca dagang yang telah diproyeksikan pemerintah, dengan adanya peristiwa ini.
Namun, dengan adanya implementasi kebijakan B20, menurut Suahasil dampak dari peningkatan harga minyak tak akan terlampau signifikan. “Kami yakin 20 persen kita nggak perlu impor solar murni, tapi kemudian harga akan meningkat, jadi kami akan memperhatikan dampaknya terhadap defisit."
GHOIDA RAHMAH | MUHAMMAD HENDARTYO