Perubahan Nomenklatur Kabinet Jokowi Dinilai Bisa Ganggu Ekonomi
Reporter
Dias Prasongko
Editor
Rahma Tri
Kamis, 29 Agustus 2019 18:22 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menilai, perubahan nomenklatur kabinet Jokowi baik penggabungan, pemecahan maupun pembangunan baru kementerian bisa menganggu ekonomi dalam jangka pendek. Khususnya, dalam hal eksekusi kebijakan dari yang mesti dijalankan.
"Bisa berpotensi untuk ganggu ekonomi. Dalam jangka panjang mungkin bisa lebih baik, tapi di jangka pendek itu eksekusi kebijakan akan makan waktu lama dalam pelaksanaan supaya bisa jalan," kata Shinta dalam sebuah diskusi bertajuk "Kaum Muda dan Kementerian Baru dalam Postur Kabinet Jokowi-Amin" di Jakarta Selatan, Kamis 29 Agustus 2019.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan telah menetapkan komposisi kabinet. Ia juga menyampaikan akan ada perubahan nomenklatur kementerian. "Ada. Ada (kementerian) yang digabung, ada (kementerian) yang baru," kata Jokowi di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta, Rabu, 14 Agustus 2019.
Dikabarkan bakal ada tiga kementerian baru yang disiapkan Jokowi. Ketiganya, yakni Kementerian Investasi, Kementerian Ekonomi Digital, dan Kementerian Industri Kreatif. Dua kementerian terakhir ini bisa saja digabung.
Ada pula rencana mengubah sejumlah nomenklatur, misalnya Kementerian Perdagangan digabung dengan Kementerian Perindustrian, Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan dipisah menjadi Kementerian Pendidikan Dasar, Menengah, dan Kepemudaan, serta membentuk Kementerian Kebudayaan.
Shinta menilai, rencana perubahan kementerian itu harus dipikirkan lebih matang lagi oleh Jokowi. Selain itu, rencana perubahan nomenklatur juga perlu melibatkan para pelaku ekonomi. Sebab, para pelaku merupakan pihak yang paling memahami bagaimana pelaksanaan kebijakan selama ini, khususnya di bidang ekonomi.
Berdasarkan beberapa pengalaman sebelumnya, kata Shinta, pembentukan kementerian baru atau penambahan badan baru membutuhkan waktu penyesuaian selama 1-2 tahun. Setelah itu, institusi baru bisa melaksanakan eksekusi kebijakan yang telah dimandatkan.
Karena itu, Shinta mengusulkan, lebih baik pemerintahan Jokowi melakukan perbaikan dalam pelaksanaan kebijakan. Misalnya, untuk memperbaiki investasi dan juga ekspor pemerintah perlu untuk memperbaiki sistem perizinan online dalam Online Single Submission (OSS).
DIAS PRASONGKO