Putri sulung mendiang Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Indra Rukmana alias Mbak Tutut. TEMPO/Subekti
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah menanggapi pernyataan putri Presiden RI II Soeharto Tutut Soeharto di Twitter soal swasembada beras pada era Orde Baru. Menurut Piter, swasembada beras dan hampir semua swasembada pangan pada Orde Baru semu.
Piter mengatakan semua pembangunan ekonomi di masa Orde Baru tidak didasarkan pada fondasi yang kuat. Masa Orde Baru yang dibangun hanya permukaannya saja sementara di dalam keropos dan penuh dengan korupsi kolusi dan nepotisme. "Jadi sebenarnya yang semu bukan saja swasembada pangan, tapi hampir di semua aspek," kata Piter saat dihubungi, Jumat, 23 November 2018.
Sebelumnya Tutut Soeharto menyebutkan pada era Orde Baru terjadi swasembada beras. "Alhamdulillah, pada era Orde Baru, atas kerja keras segenap rakyat Indonesia, kita berhasil swasembada beras," ujarnya dalam melalui akun Twitter-nya, @TututSoeharto49, Kamis malam, 15 November 2018.
Tutut Soeharto yang bernama lengkap Siti Hardijanti Indra Rukmana ini menambahkan, di masa orde baru itu, pemerintahan di bawah Presiden Soeharto malah memberi bantuan kepada negara-negara lain. "Kita juga memberikan bantuan kepada negara-negara lain yang mengalami kekurangan atau krisis pangan pada waktu itu."
Menurut Piter, keropos ekonomi Orde Baru yang tidak didasarkan kepada sistem yang benar ini, kemudian terbukti tidak mampu menghadapi tekanan pada 1997-1998 dan berbuah krisis.
"Tuntutan reformasi ekonomi pasca krisis sesungguhnya berisikan keinginan menghadirkan system yang baik, yang tidak KKN, yang memberikan sistem insentif yang benar kepada para pelaku ekonomi sehingga pembangunan yang terjadi bisa berkelanjutan," kata dia.
Jumat lalu, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Faisal Basri mengatakan swasembada di zaman Orde Baru membuat negara Indonesia hampir runtuh. Faisal mengatakan itu, agar masyarakat jangan keliru memahami masa Orde Baru termasuk terkait pernyataan Tutut Soeharto dan Titiek Soeharto.