TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah bersama DPR-RI dalam waktu dekat berencana mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Pengusaha menolak program tersebut.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan P Roeslani menyatakan jajarannya menghargai tujuan dari RUU Tapera untuk memberikan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah itu. "Namun juga berkeberatan dengan draft RUU yang akan membebankan sumber pendanaan perumahan tersebut dari pelaku usaha,” kata Rosan di Menara Kadin, Selasa 2 Februari 2016.
Dia memaparkan, pelaku usaha sudah dibebani biaya sebesar 10,24 -11,74 persen dari penghasilan pekerja untuk program jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan (jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan pensiun), dan cadangan pesangon yang berdasarkan pengitungan aktuaria sebesar 8 persen. Jika ditambah dengan rata-rata kenaikan UMP dalam 5 tahun terakhir yang sebesar 14 persen, maka total beban pengusaha dapat mencapai sekitar 35 persen. "Dengan kondisi ekonomi seperti ini, beban dunia usaha terlalu berat," kata Rosan.
Menurutnya, jika Program Tapera tetap dilaksanakan, target kepesertaan seharusnya lebih menyasar pada masyarakat berpenghasilan rendah dan Pekerja Informal yang telah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Sementara sumber pendanaannya dapat diambil dari APBN-APBD, atau dari sumber pembiayaan publik lainnya yang selama ini sudah dipungut dari pelaku usaha melalui pajak.
Apalagi, untuk pekerja formal yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan saat ini sudah diperoleh dari program perumahan berdasarkan PP no. 99 tahun 2013 dan PP no. 55 tahun 2015 Tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
BPJS Ketenagakerjaan, lanjut dia, menyediakan program bantuan uang muka perumahan dan subsidi bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang sumbernya berasal dari pagu 30 persen portofolio kelolaan Jaminan Hari Tua (JHT) Rp 180 triliun, yang artinya terdapat alokasi dana sebesar Rp 54 triliun yang ditempatkan pada perbankan dengan tingkat imbal hasil paling sedikit setara dengan tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI Rate). “Program Perumahan BPJS Ketenagakerjaan juga memfasilitasi Kredit Konstruksi bagi Pengembang yang melaksanakan Program tersebut,” ujar Rosan.
Rosan berharap agar pemerintah dan DPR-RI dapat membatalkan rencana pengesahan RUU Tapera tersebut yang memasukan beban iuran tambahan baik kepada Pemberi Kerja maupun Pekerja.
Senada dengan Ketua Kadin, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani menyatakan penolakan terhadap disahkannya RUU tersebut, jika sumber pembiayaan untuk penyediaan perumahan rakyat dibebankan ke dunia usaha. "Toh pekerja sudah memperoleh pembiayaan perumahan itu dari BPJS Ketenagakerjaan, seharusnya jangan dobel,” kata Hariyadi.
Hariyadi mengatakan, BPJS Ketenagakerjaan juga memberikan subsidi bunga KPR bagi pesertanya. Penolakan RUU Tapera bukan berarti pengusaha menolak kebijakan pemerintah untuk membantu masyarakat pendapatan rendah mendapat perumahan. Menurutnya itu kewajiban negara, tetapi kebijakan itu jangan membebani sektor industri formal dengan iuran atau pungutan tambahan.
Sebelumnya, iuran Tapera ini dianggap sebagai pelengkap iuran wajib lain yang telah berlaku, yakni iuran BPJS Kesehatan dan iuran BPJS Ketenagakerjaan. Iuran Tapera ditetapkan sebesar 3 persen dari upah sebulan. Sebesar 2,5 persen akan ditanggung pekerja dan 0,5 persen ditanggung oleh perusahaan.
PINGIT ARIA