TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi, mengatakan pengerjaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung berpotensi digugat lantaran menyalahi ketentuan penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
“Kalau tetap mengizinkan proyek, berarti ada pelanggaran. Bisa digugat sebagai perbuatan melawan hukum,” ujar Zenzi kepada Tempo, Kamis, 21 Januari 2016.
Baca Juga:
Zenzi menjelaskan, apabila Amdal belum beres tapi izin lingkungan sudah keluar, pejabat yang menerbitkan izin tersebut rawan digugat. Ini melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ancamannya pidana setahun dan denda Rp 500 juta.
“Keputusan menerbitkan izin, termasuk kebijakan pemegang wewenang, yang pasti tidak boleh bertentangan dengan peraturan,” kata Zenzi. Gugatan tersebut juga bisa dilakukan untuk membatalkan izin. “Bisa digugat status izinnya.”
Meski mengaku belum membaca isi Amdal PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC), menurut Zenzi, seharusnya pemerintah tidak menerbitkan izin lingkungan apabila Amdal belum layak. “Mestinya pertimbangan layak atau tidak itu meliputi ekonomi, lingkungan, dan sosial,” ujarnya.
Anggota tim penilai Amdal, Widodo Sambodo, mengatakan Amdal milik PT KCIC tak layak. Tidak ada studi mengenai hidrogeologi dan ancaman bencana di wilayah yang dilintasi kereta cepat. Misalnya, kata Widodo, wilayah Walini merupakan daerah yang rawan longsor. Apabila dibangun terowongan, dikhawatirkan saat intensitas hujan meninggi, tanah akan ambles dan menimpa kereta.
“Data hidrogeologi itu tidak bisa didapat dalam seminggu. Paling tidak 6 bulan dan dicari pada saat intensitas hujan paling tinggi,” kata Widodo. Apalagi data Amdal yang digunakan oleh perusahaan merupakan data lama sehingga dikhawatirkan tak akurat. “Seharusnya memakai data aktual dan validitas tinggi.”
Senada dengan Zenzi, Widodo pun berujar pejabat yang memberikan izin bisa dipidana, baik dari tingkat daerah maupun pusat. Dia menilai proyek kereta cepat ini sudah keluar dari pakem yang ada. “Terlalu ambisius dan dipaksakan,” katanya.
DEVY ERNIS