TEMPO.CO, Jakarta – Anjloknya harga komoditas dan nilai tukar rupiah tahun ini ikut mempengaruhi kekayaan para konglomerat Indonesia hingga US$ 9 miliar atau sekitar Rp 124, 4 triliun. Dikutip dari Koran Tempo edisi 4 Desember 2015, majalah Forbes menyatakan total kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia tahun ini turun 9 persen menjadi US$ 92 miliar atau sekitar Rp 1.273,7 triliun. “Enam konglomerat kehilangan status sebagai miliuner, termasuk Edwin Soeryadjaya dan Sukanto Tanoto,” bunyi laporan Forbes.
Pemegang 60 persen saham PT Saratoga Investama Sedaya Tbk, Edwin Soeryadjaya, awalnya menanamkan investasi di sektor batu bara dan minyak. Namun, sepanjang tahun ini, harga saham di perusahaan tersebut anjlok 26 persen.
Selain itu, Sukanto, pemilik Grup Asian Agri, juga mengalami penurunan kekayaan. Asian Agri merupakan produsen minyak sawit mentah terbesar di Indonesia. Dalam beberapa waktu terakhir, harga CPO tertekan. Hal ini berimbas pada penurunan harta Sukanto yang terbesar dan membuatnya harus terdepak dari daftar konglomerat untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun terakhir.
Pada kuartal ketiga 2015, meski ekonomi Indonesia sudah tumbuh lebih baik, hal ini ternyata belum mampu mengkompensasi pelemahan sejak awal tahun. Selain itu, kurs rupiah terhadap dolar AS juga turut anjlok sekitar 10 persen sepanjang 2015. “Penurunan di berbagai sektor yang menjadi bidang usaha para konglomerat bisa menggambarkan kondisi riil ekonomi,” demikian pernyataan Forbes, seperti dikutip Koran Tempo kemarin.
Meski secara keseluruhan kekayaan para konglomerat Indonesia menurun, dua taipan rokok, yakni Budi dan Michael Hartono, pemilik Djarum Group, masih duduk sebagai orang terkaya di Indonesia dengan nilai US$ 15,4 miliar atau sekitar Rp 212,8 triliun. Disusul pemilik pabrik rokok PT Gudang Garam Tbk, Susilo Wonowidjojo, dengan kekayaan US$ 5,4 miliar atau sekitar Rp 76 triliun.
DESTRIANITA K.