TEMPO.CO, Jakarta - Rencana bergabungnya Indonesia ke forum perdagangan bebas Trans-Pacific Partnership (TPP) harus melewati berbagai pertimbangan, mengingat posisi Indonesia sebagai negara yang tidak terlibat dalam perumusan kebijakan sistem perdagangan bebas tersebut.
"Ada ratusan aspek yang diperhatikan di TPP, dan prasyarat forum itu bisa saja mengganggu kaidah undang-undang yang dibuat pemerintah untuk sejumlah sektor," ujar Rektor Universitas Paramadina, Firmanzah, sebagai pembicara dalam diskusi Outlook Ekonomi 2016 yang diadakan PT HM Sampoerna di Kebayoran Baru, Jakarta, pada Rabu, 25 Desember 2015.
Firmanzah menjelaskan bahwa TPP tak semata-mata bertumpu pada aspek perdagangan, melainkan juga pada aspek ketenagakerjaan; lingkungan hidup; pertanian; koperasi; usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); informatika, dan banyak lagi. Menurut dia, peraturan TPP bisa memberatkan pelaku usaha domestik karena negara peserta TPP pun tak dibolehkan menekan local content masing-masing.
Satu contoh yang disajikan Firmanzah adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dia mengatakan regulasi TPP mewajibkan adanya keselarasan antara non-BUMN dan BUMN di negara pesertanya.
Ia mencontohkan proyek pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera yang tengah dikerjakan PT Hutama Karya. Hutama Karya selama ini mendapat injeksi dana dari pemerintah dalam membangun proyek tersebut. “Yang seperti ini mungkin akan dilarang dalam peraturan TPP karena negara tak boleh mengutamakan BUMN," kata Firmanzah.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah mengisyaratkan minat untuk bergabung dengan Trans Pacific Partnership (TPP). Hal itu diputuskan setelah pertemuan dengan Presiden Barack Obama di Gedung Putih pada 26 Oktober 2015.
YOHANES PASKALIS