TEMPO.CO, Jakarta - Tren penurunan harga minyak mentah dunia tak selalu disambut sukacita oleh pelaku industri. Sektor logistik dan pelayaran misalnya, rendahnya harga minyak tak otomatis membuat mereka untung besar.
Karena itu, rendahnya harga minyak tak otomatis membuat mereka untung besar.
”Kalau ekonomi melemah, artinya demand juga rendah. Aktivitas bongkar-muat di pelabuhan turun,” kata Asmary Hery, Wakil Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association bidang angkutan kontainer, general cargo, dan pengembangan sumber daya manusia.
Bahkan, kata Herry, karena penurunan harga minyak itu, banyak perusahaan minyak membatalkan kontrak atau mengurangi sewa kapal untuk kebutuhan eksplorasi ataupun eksploitasi lepas pantai. Akibatnya, order ikut sepi. ”Turun 50 persen lebih.”
Sepanjang tahun ini bisnis logistik dan pelayaran agak tersendat seiring dengan perlambatan ekonomi dunia. Pada semester pertama 2015, meski ekonomi tumbuh 4,7 persen, sektor pelayaran melambat karena pelaku bisnis mengurangi aktivitas ekonominya. ”Masyarakat ragu untuk belanja, deposito tambah banyak, sehingga permintaan turun. Kapasitas produksi ikut turun,” ujar Hery.
Hery berharap tahun depan industri pelayaran lebih cerah. Paket-paket kebijakan ekonomi pemerintah diyakini sudah berjalan dan terasa dampaknya. Tanda-tanda pemulihan sudah terasa pada kuartal keempat ini. ”Kalau tahun depan ekonomi Indonesia tumbuh 5,2 persen, industri pelayaran bisa tumbuh minimal 15 persen.”
Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmi Radhi, menilai minyak murah sebagai berkah sekaligus musibah bagi Indonesia. Harga murah menjadi disinsentif bagi produsen, sehingga produksi semakin turun.
Eksplorasi rendah karena tak menarik. Sebaliknya, konsumsi akan makin tinggi karena harga murah dan impor makin besar. ”Dalam kondisi minyak murah ini, energi alternatif juga menjadi kurang menarik,” ucap Fahmi.
TEMPO