TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengingatkan semangat awal pembentukan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang bertujuan mencegah kerusakan hutan lebih lanjut di Indonesia dengan menciptakan tata kelola hutan yang baik.
"Tujuan kita sejak awal membangun tata kelola hutan lebih baik. Kita meyakini, melalui hard approach, tidak berhasil signifikan melalui berbagai operasi," kata staf ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Ekonomi Sumberdaya Alam, Agus Justianto, di Jakarta, Jumat, 23 Oktober 2015.
Sistem ini, kata dia, sudah bertahun-tahun dibuat setelah ada pernyataan bahwa tindakan hukum tidak bisa menghentikan aktivitas pengambilan kayu secara ilegal di hutan-hutan Indonesia.
"Nah, berkaca dari kejadian yang ada, maaf jika saya larikan ini ke kebakaran hutan dan lahan karena harus diakui, salah satunya karena ada praktek ilegal di lapangan. Makanya terjadi kebakaran dan dampaknya luar biasa," ujar Agus.
Ia mengatakan poin yang ingin didorong oleh KLHK adalah legalitas kayu. Jika akhirnya bisa ekspor dengan lisensi Forest Law Enforcement, Governance, and Trade Voluntay Partnership Agreement, bisa dianggap sebagai bonus karena telah menjalankan tata kelola hutan secara baik.
"Yang dikeluhkan IKM (Industri Kecil Menengah) itu kan mahal untuk dapat legalitas. Ini harusnya bisa diselesaikan, tapi kok yang disalahkan SVLK-nya," ujar dia.
KLHK, tutur dia, melakukan upaya menyelesaikan apa yang dikeluhkan IKM untuk memfasilitasi, membiayai, hingga mendampingi untuk mendapatkan legalitas tersebut.
Ia mengatakan ada poin-poin penting dari Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 89/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan yang dikeluarkan 19 Oktober 2015, yang perlu dijelaskan kembali oleh Kementerian Perdagangan. Ada salah satu pasal dalam peraturan tersebut yang menyebutkan produk ekspor yang masuk dalam kelompok B, yang terdiri atas 15 nomor pos tarif tidak perlu memiliki V-Legal, tapi produk tersebut harus berasal dari bahan baku legal.
"Ini perlu penjelasan karena nanti di bea cukai. Mereka harus bisa memastikan apakah produk tersebut disertai dokumen yang berasal dari SVLK atau tidak. Selama ini, untuk memastikannya, ada dokumen V-Legal, nah kalau dihilangkan untuk mengetahui bahan baku legal atau tidak siapa yang verifikasi," ujar dia.
Ia mengatakan jika verifikasi dibebankan ke bea cukai, tentu tidak akan sanggup.
Menurut dia, pemahaman terkait SVLK belum sepenuhnya dipahami oleh Kementerian Perdagangan. Verifikasi hulu dan hilir perlu dilakukan karena dalam satu sistem rantai pasokan kayu berarti dari hulu dan hilir yang semuanya harus dipastikan legalitasnya.
"Kalau di hilir ada produk yang dikecualikan, sistem ini tidak akan berjalan sempurna karena ada celah masuk kemungkinan terjadinya sumber-sumber kayu di hilir yang ilegal," katanya.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Thomas T Lembong sempat mengatakan SVLK merupakan sistem yang canggih dan bagus sehingga akan terus mendapat dukungan dari Kementerian Perdagangan.
"Kami apresiasi kerja keras dari Kementerian LHK yang bekerja sama dengan negara destinasi ekspor kayu untuk menciptakan sistem itu, sekaligus memberikan nilai tambah terhadap ekspor kayu dan produk kayu dari Indonesia," kata Thomas.
ANTARA