TEMPO.CO, Beijing - Data pertumbuhan ekonomi kuartal III Cina terus menunjukkan perlambatan. Angka pertumbuhan yang turun ke 6,9 persen merupakan titik terendah sepanjang enam tahun terakhir. Ini semakin menambah kekhawatiran para pelaku ekonomi akan krisis yang masih berkepanjangan.
“Kita belum bisa optimistis dengan kondisi seperti ini, sebab perlambatan masih terjadi,” ujar Kepala Ekonom ANZ Banking Group untuk wilayah Cina Liu Li Gang, seperti dilansir situs berita Channel News Asia, Senin, 19 Oktober 2015. Ia bahkan memperkirakan perlambatan bisa mencapai 6,4 persen di tahun depan.
Kekhawatiran Li Gang cukup beralasan, mengingat Cina selama ini merupakan pedagang sekaligus pasar raksasa yang memiliki peran kunci dalam ekonomi global. Juru bicara Biro Statistik Nasional Cina mengatakan perlambatan kali ini masih tergolong wajar, sebab ekonomi masih berjalan di kisaran yang tepat.
“Tapi kita tetap harus waspada terhadap kondisi eksternal maupun internal yang rumit, dan tekanan perlambatan untuk perkembangan ekonomi yang masih ada,” katanya.
Pertumbuhan ekonomi Cina menyentuh angka 7,3 persen pada tahun lalu, paling lambat yang pernah dialami Negeri Tirai Bambu itu sejak 1990. Tahun ini pemerintah Cina sebenarnya menargetkan pertumbuhan di kisaran 7 persen, yang tercapai di kuartal pertama dan kedua. Namun, mulai meleset turun dari perkiraan di kuartal tiga ini.
Kepala Ekonom untuk Asia dari Oxford Economics Louis Kuijs mengatakan perlambatan yang terjadi selama periode Juli hingga September kemarin ini lebih disebabkan tekanan dari sektor properti dan ekspor. “Tapi tertolong dengan konsumsi dan pembangunan infrastruktur yang masih kuat, jadi perlambatan tak turun tajam,” jelas Kuijs.
Para analis berharap pemerintah lebih meningkatkan belanja fiskal dan melonggarkan kebijakan moneter sebelum akhir tahun, ini bertujuan agar perlambatan tak turun begitu tajam.
Sepanjang tahun ini, Cina telah lima kali memangkas suku bunganya dan menerapkan stimulus lain untuk mempertahankan ekonominya. Namun stimulus-stimulus tersebut dinilai kurang begitu substansial untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
GUSTIDHA BUDIARTIE | CHANNEL NEWS ASIA