TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia hari ini mengeluhkan tingginya biaya produksi pada Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka. Permasalahan utama yang disampaikan adalah bahan baku utama pupuk yang masih harus dibayar dengan menggunakan dolar.
"Kami sampaikan hal-hal yang terkait dengan keberadaan pabrik pupuk. Bahan baku utama adalah gas alam, kita harus bayar dengan dolar. Jadi, dampaknya ke industri besar," kata Ketua Presidium Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia Arifin Tasrif di Kantor Presiden, Kamis, 15 Oktober 2015.
Arifin berharap paket kebijakan yang diterbitkan pemerintah bisa menahan penguatan nilai dolar sehingga biaya produksi tidak terus membengkak. Untuk menyiasati tingginya harga gas, industri pupuk mendorong konversi dari gas ke batu bara demi penurunan biaya produksi.
Hal lain yang disampaikan adalah tingginya biaya pengangkutan gas bumi melalui pipa. Industri pupuk berharap pemerintah dapat menurunkan biaya tersebut demi menekan biaya produksi. "Kami berharap biaya produksi bisa diturunkan karena fee-nya cukup tinggi," kata Arifin.
Pada Presiden, industri pupuk juga menyampaikan pentingnya melakukan revitalisasi pabrik urea. Menurut Arifin, dari 14 pabrik urea di Indonesia, sebanyak tujuh pabrik sudah berusia lebih dari 30 tahun. "Kita secara bertahap sudah melakukan revitalisasi." Dengan revitalisasi pabrik, produksi pupuk nasional bisa digenjot menjadi 19 juta ton pada 2019.
Menteri Perindustrian Saleh Husin yang ikut mendampingi pertemuan mengatakan industri pupuk juga mengharapkan pemberlakuan harga khusus. Harga khusus, akan membuat ketersediaan pupuk untuk bahan pangan terjaga.
Hari ini, Presiden juga bertemu dengan Asosiasi Semen Indonesia dan Asosiasi Alat Besar Indonesia.
ANANDA TERESIA