TEMPO.CO, Jakarta - Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) merekomendasikan pemerintah untuk segera mengatasi gejala deindustrialisasi yang kian jelas. Peningkatan sektor jasa dan perdagangan tanpa landasan industri primer yang kokoh diyakini berisiko bagi pertumbuhan.
Ketua ISEI terpilih Muliaman Darmansyah Hadad mengatakan poin itu adalah rumusan utama dalam Seminar Nasional dan Kongres ISEI XIX.
“Hasil seminar ini akan kita lanjutkan dan tajamkan lalu kita sampaikan ke Pak Darmin (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian),” katanya dalam sambutan penutupan rangkaian acara tersebut, Jumat, 9 Oktober 2015.
Kegagalan menghindari deindustrialisasi juga dipandang akan membuat Indonesia terjebak pada middle income trap dan menahan Indonesia "naik kelas" ke level negara berpendapatan lebih tinggi.
Muliaman, yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, menuturkan kecenderungan usaha yang berkembang belakangan ini lebih menitikberatkan pada profit instan dengan menjual barang jadi, terutama barang impor, dan menggerus sektor primer yang berbasis produksi.
Hal itu terefleksi pada struktur produk domestik bruto (PDB). Kendati secara proporsi industri pengolahan masih lebih besar dibandingkan dengan sektor perdagangan besar dan eceran, perlambatan pertumbuhan industri jauh lebih kencang dibandingkan dengan perdagangan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada awal 2000-an porsi industri pengolahan terhadap PDB mencapai kisaran 30%, sedangkan perdagangan tercatat pada level 16 persen. Kemudian keduanya bergerak turun.
Namun sektor perdagangan cenderung stagnan pada rentang 13-14 persen, sedangkan industri terus melandai hingga menyentuh 21 persen.
Terakhir, per kuartal II/2015 BPS mencatat industri perdagangan hanya berkontribusi sebesar 20,91 persen, sedangkan sektor perdagangan menyumbang sekitar 13,26 persen.
ISEI memandang salah satu masalah terbesar dalam industri dalam negeri adalah ketiadaan industri bahan baku dan bahan penolong di dalam negeri. Hal ini mengindikasikan lemahnya industri, baik dari sisi hulu maupun hilir.
Faktor itu pula yang membuat industri nasional tak bisa memanfaatkan momentum depresiasi rupiah sebagai stimulus ekspor secara maksimal. Pasalnya, melambungnya nilai dolar turut mengerek ongkos produksi industri.
Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan satu-satunya cara untuk membangun industri bahan baku dan bahan penolong substitusi impor adalah dengan memberikan insentif fiskal pada investor. Terlebih, mengingat sektor ini membutuhkan penanaman modal yang sangat besar. “Enggak ada cara lain. Padahal, di sisi lain kita juga perlu penerimaan pajak yang besar,” ucap Darmin, yang menjabat sebagai Ketua ISEI pada periode sebelumnya.