TEMPO.CO , Jakarta: Nilai tukar rupiah yang menguat cukup tajam dalam beberapa hari terakhir dinilai sebagai akibat dari kondisi global, khususnya di Amerika Serikat. Salah satu isu utama global tersebut masih seputar suku bunga The Fed (bank sentral AS) yang diperkirakan masih akan menunda kenaikannya hingga awal 2016.
“Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja AS masih di bawah ekspektasi untuk bulan September ini, sehingga The Fed sepertinya masih akan menunda kenaikan suku bunga,” kata analis pasar uang PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Rully Arya Wisnubroto saat dihubungi Tempo Kamis, 8 Oktober 2015.
Hal ini, menurut Rully berakibat pada peningkatan ekspektasi pasar kepada nilai rupiah, sehingga nilainya pun mengalami penguatan yang pada Kamis pagi sempat menyentuh Rp 13.821 per dolar AS.
Namun, Rully mengatakan, penguatan ini bersifat sementara. Bukan tidak mungkin jika kondisi perekonomian Amerika Serikat membaik, maka nilai rupiah akan kembali tertekan.
Terkait paket kebijakan yang diluncurkan pemerintah terhadap penguatan rupiah, menurut Rully, belum terlalu signifikan dampaknya. “Peran respon positif paket kebijakan masih ada, tapi dominannya masih karena faktor global,” tuturnya.
Kepala Riset/Ekonom Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih, juga sependapat bahwa kondisi global lebih besar pengaruhnya terhadap penguatan rupiah yang terjadi.
“Faktor eksternal lebih besar. Ditambah dugaan saya, BI kemarin juga intervensi, karena penguatan rupiah yang paling tajam dibanding mata uang lain,” katanya. (Lihat video Rupiah Bangkit, Ini Penyebabnya, Evaluasi Paket Kebijakan Ekonomi I dan II Jokowi, Peningkatan Daya Beli Masyarakat Jadi Fokus Kebijakan Ekonomi Jilid III)
Lana juga mengatakan kondisi ini masih bersifat sementara, karena faktor eksternal yang tidak bisa dikendalikan. Sehingga ia meminta pemerintah dan Bank Indonesia, tetap berhati-hati memegang kendali moneter.
“BI harus memastikan kebijakannya berjalan efektif, menambah instrumen untuk menjaga suplai valas, seperti kebijakan devisa hasil ekspor atau obligasi BI dalam bentuk valas,” tutur Lana.
Terkait paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah, Lana mengatakan masih membutuhkan waktu 3-6 bulan lagi agar dapat dirasakan dampaknya.
Menurut Lana, perusahaan baru akan berani melakukan investasi ketika kondisi perekonomian membaik. Terlebih saat ini tingkat daya beli masyarakat masih lemah.
“Paket jilid III kemarin memang membantu meningkatkan daya beli. Tapi dari sisi produsen, dengan harapan mereka menurunkan harga, ini yang benar-benar harus dipastikan turun oleh pemerintah,” kata ekonom Universitas Indonesia ini.
GHOIDA RAHMAH